Kamis, 12 Juni 2014

Bab 2 Masa Kecil, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 2
Masa Kecil

Suatu Jumat Legi, sore hari bulan April 1912. Tempat kediaman Gusti Pangeran Haryo Puruboyo di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta - sekarang dikenal dengan nama Pakuningratan - tampak dari luar seperti tenang-tenang saja. Namun sebenarnya di bagian dalam rumah berpendopo besar itu, di tempat yang didiami oleh istri sang Pangeran, ada kesibukan yang lain dari biasanya.

Para sanak keluarga dan abdi sedang diliputi oleh suasana menunggu, yang wanita sambil menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan kecil sementara para pria duduk bersila di serambi sambil berbincang-bincang perlahan. Sejak beberapa lama, di kamarnya, sang Putri telah merasakan sakit karena akan melahirkan. Dan walaupun sudah ada tangan-tangan trampil yang sedang menolongnya, orang tetap harap-harap cemas. Memang, persalinan di jaman itu bukanlah tanpa bahaya ...

Senja telah berganti malam, beduk Isya pun telah lama berlalu, baru akhirnya jerih payah dan cucuran keringat sekelompok kecil orang tersebut membuahkan hasil yang ditunggu-tunggu. Ketika di suasana keremangan malam itu sekali lagi daun pintu dikuakkan dan kepala seseorang dijulurkan, datanglah suara berbisik menagndung pengumuman.

Apa? Sudah? Laki atau perempuan? Sejenak terdengar suara ledakan kegembiraan. Ternyata pada pukul 22.30 malam itu lahir seorang putra dari rahim seorang wanita yang di masa gadisnya bernama R.A. Kustilah, putri Pangeran Mangkubumi dan kemudian menyandang gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom. Wanita ini adalah satu-satunya garwa padmi dari sang Pangeran.

Malam itu telah lahir seorang bayi lelaki yang pada usia sepasar diberi nama Dorodjatun. Ini mengandung arti bahwa orang tua bayi itu mengandung harapan agar bayi ini kelak mampu memiliki atau dibebani derajat yang tinggi, cakap mengemban pangkat atau kedudukan yang luhur dan selalu berbudi baik walau memegang kekuasaan yang besar. Harapan ini sungguh pada tempatnya karena ayah sang bayi yang bernama Gusti Pangeran Haryo Puruboyo adalah orang yang kemudian diangkat menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara, putra mahkota Keraton Yogya, untuk kemudian dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII.

Demikianlah Dorodjatun dilahirkan pada hari Sabtu Paing, tanggal 12 April 1912 atau menurut hitungan Jawa jatuh pada tanggal 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842. Dialah yang pada gilirannya nanti diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram dan dinobatkan menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah IX.

Di Purubayan ini Dorodjatun bersama-sama saudara-saudara seayah lain ibu hidup dalam suasana kekeluargaan, mengalami pasang-surut sebagaimana keluarga lain. Dorodjatun belum berusia tiga tahun ketika ayahnya diangkat menjadi putra mahkota Keraton Yogya dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram. Ibunya sebagai istri utama dengan sendirinya mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom, suatu kebanggaan tersendiri sebagai istri putra mahkota.

Tetapi tak lama sesudah itu musibah pun datang. Karena sesuatu sebab yang tidak pernah diumumkan secara jelas, terjadi sesuatu yang mempengaruhi hubungan antara kedua orang tuanya. Keadaan menjadi sedemikian rupa sehingga Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom dipulangkan kembali ke rumah ayahnya KGPA Mangkubumi. Putri yang tidak mujur ini sampai bertahun-tahun kemudian hidup terpisah dari suami dan putra tunggalnya, dan setelah ayahnya meninggal dunia ia pun pindah ikut tinggal bersama kakaknya KRT Ronodiningrat. Walaupun demikian dalam keadaan hidup terpisah ini KRAA Anom tetap memegang kedudukan dan hak sebagai garwa padmi, termasuk penggunaan pakaian dan payung kebesaran sampai akhir hayatnya.

Kehidupan berjalan terus, calon sultan ternyata mengambil berbagai keputusan penting mengenai cara pendidikan putra-putranya. Dorodjatun masih berusia 4 tahun ketika dari rumah ayahnya dipindahkan untuk in de kost pada sebuah keluarga Belanda. Kepala keluarga tersebut bernama Mulder, seorang kepala sekolah pada NHJJS (Neutrale Hollands Javaanse Jongens School). Bersamaan dengan itu beberapa orang putra lainnya juga dipondokkan, tetapi mereka tidak pernah dikumpulkan melainkan selalu tinggal pada keluarga Belanda yang berbeda-beda.

Instruksi sang Pangeran ketika itu jelas, ialah: agar putra-putranya dididik sebagai anak orang biasa saja, tak usah diistimewakan karena kelahirannya yang tinggi. Hendaknya anak-anak itu menyerap kebiasaan hidup sederhana dan penuh disiplin sebagaimana yang ada dalam kalangan orang-orang Belanda.

Mengikuti pola pendidikan yang cukup keras ini, tak pernah ada abdi dalem atau punakawan yang dibiarkan menyertai Dorodjatun selama hidup mondok pada keluarga Belanda. Di rumah Mulder, walau ia masih kecil sekali, hanya dilayani oleh pembantu keluarga tersebut, dan selebihnya bersama dengan beberapa anak Mulder sendir ia harus dapat mengurus diri sendiri.

Rupa-rupanya Hamengku Buwono VIII yang ketika itu masih puta mahkota kerajaan telah melihat jauh ke depan. Bukan sanjungan atau pemanjaan sebagaimana kebanyakan bangsawan lain yang diterapkan dalam pendidikan putranya, tetapi ia menghendaki yang keras, yang sedikit Spartaans.

Bagaimanapun sikapnya yang keras ini menimbulkan pertanyaan di berbagai kalangan, baik di antara para kerabat Keraton sendiri maupun di kalangan warga Yogya. Apa yang kurang di Keraton maka semua putra itu justru harus hidup di luar? Apakah ini nanti tak akan membuat anak-anak menjadi "kebelanda-belandaan?"

Banyak juga orang yang menyebut sikap ini sebagai "kejam", karena Pangeran tega memisahkan anak kecil dari ibunya, keluarga dekatnya dan dari dia sendiri sebagai ayahnya. "Mengapa", "untuk apa", "sikap aneh" dan "kasihan anak kecil" dan sebagainya adalah pertanyaan dan tanggapan yang dialamatkan kepada sang Pangeran, sementara ada pihak-pihak lain yang menduga bahwa semua itu mungkin adalah kehendak Belanda yang dipaksakan kepadanya. Sebab, bukankah anak umur 4 tahun masih terlalu kecil untuk dipisahkan dari belaian kasih ibunya? perawatan keluarga dekatnya?

Apa hendak dikata, menjadilah Dorodjatun anggota keluarga Mulder dengan diberi nama panggilan sederhana pula, yaitu Henkie (Henk yang kecil). Ia juga langsung diajak berkomunikasi dalam bahasa Belanda, suatu cara belajar bahasa yang untuk anak-anak berjalan paling cepat. Di samping bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, untuk selanjutnya bahasa Belanda adalah bahasa utama bagi Dorodjatun dan tampak ia pun berpikir dalam bahasa Belanda. Begitu fasihnya ia kemudian menggunakan bahasa Belanda, sehingga Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer pernah berkomentar: "Bagaimana mungkin Anda bicara dalam bahasa Belanda tanpa aksen asing sedikit pun?"

Apa yang masih dikenang dari masa kecilnya, dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono IX dalam rekaman dialog berikut ini:

Penulis: Apakah Bapak masih ingat reaksi Bapak sebagai anak kecil ketika mula-mula dipondokkan?

Hamengku Buwono IX: Saya ingat beberapa kali memang menangis, terutama sehabis pulang ke rumah dan harus kembali lagi ke pondokan.Tapi, itu 'kan biasa bukan?

Penulis: Bapak krasan di rumah pondokan?

Hamengku Buwono IX: Ah saya cepat menyesuaikan diri, nggak ada masalah apa-apa.

Penulis: dari mana nama Henkie itu?

Hamengku Buwono IX: Kalau tak salah, Henk diambil dari nama Hendrik, dari pangeran Hendrik, suami Ratu Wihelmina dari Negeri Belanda.

Penulis: Sampai kapan nama Henkie dipergunakan?

Hamengku Buwono IX: Sampai seterusnya di jaman sekolah, jaman mahasiswa bahkan sampai sekarang bagi teman-teman yang mengenal saya dari dekat.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar