Jumat, 13 Juni 2014

Bab 11 Serangan Umum 1 Maret 1949, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 11
Serangan Umum 1 Maret 1949

Keadaan tak menentu di Yogya tetap berjalan tanpa ada tanda perubahan, sementara itu penderitaan rakyat makin berat, kekacauan terjadi di mana-mana dan korban dari kedua belah pihak tetap berjatuhan. Bulan Pebruari 1949 datang dan berjalan terus, kian lama kian tampak betapa keadaan ini menyebabkan semangat juang rakyat sekitar Yogya menurun dan mengendor.

Sultan Hamengku Buwono IX menyaksikan situasi ini dengan rasa cemas. Ia merasa apabila menurunnya semangat ini dibiarkan terus akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan akan merugikan perjuangan kemerdekaan. Ia ingat politik adu-domba yang dari dulu merupakan senjata Belanda. Dalam kelesuan dan keputus-asaan dapat saja Belanda mengumpan pejuang Republik Indonesia dengan bermacam-macam cara. Suatu kejutan harus diciptakan untuk menggugah kembali semangat rakyat untuk meningkatkan kembali semangat juang mereka, demikian pikiran Hamengku Buwono IX ketika itu.

Otaknya berputar keras mencari akal. Apalagi ketika ia mendengar berita dari radio luar negeri bahwa pada akhir Pebruari 1949 masalah antara Indonesia-Belanda akan dibicarakan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bagaimana cara untuk memberitahukan dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan seperti yang mereka kesankan? Ia kemudian mendapat satu akal.

Namun ia harus cepat bertindak. Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Pebruari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di persembunyiaannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya. Pendek cerita, Sultan Hamengku Buwono IX kemudian berhasil mendatangkan komandan gerilya yakni Letnan Kolonel Suharto.

Kemudian disusun siasat untuk mengadakan serangan umum, suatu kejutan yang diharapkan akan menggugah kembali semangat rakyat Yogya, sekaligus untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih hidup dan memiliki keinginan merdeka. Dari gagasan ini terjadilah kemudian Serangan Umun 1 Maret 1949, dilakukan oleh tentara dan rakyat di bawah pimpinan seorang letnan kolonel yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia 17 tahun kemudian. Sebagaimana diketahui serangan ini berhasil membuat RI dapat menduduki Yogya selama 6 jam, sehingga serangan ini juga dikenal dengan sebutan "enam jam di Yogya".

Kakak Sultan Hamengku Buwono IX, Pangeran Prabuningrat, menceritakan dalam tulisannya yang dimuat dalam buku ini bahwa tengah malam menjelang Serangan Umum itu ia mengantar Letkol Suharto, yang menyamar dengan berpakaian abdi dalem, untuk berunding dengan Sultan di rumah Pangeran. Malam itu mereka membicarakan rencana serangan yang akan dilakukan keesokan paginya. Dalam kegiatan ini besar pula peranan para kurir seperti Letnan I Marsudi (sekarang Brigadir Jenderal) dan Amir Murtono

Serangan Umum itu berjalan cepat dan lancar sesuai rencana. Semula serangan itu akan diadakan pada 28 Pebruari, tetapi rencana itu agaknya mengalami kebocoran sehingga diundurkan menjadi 1 Maret 1949.

Pada hari itu, bebarengan dengan bunyi sirine tanda habisnya jam malam yang ditetapkan Belanda ketika itu, secara serentak dari segala penjuru kota Yogya terdengar rentetan tembakan senjata. Pasukan Belanda yang sama sekali tak mengira akan datangnya serangan tak sempat keluar dari kubu-kubu mereka dan hanya berusaha bertahan saja. Kemudian pada saat yang telah ditetapkan secara serentak para gerilyawan yang terdiri dari tentara TNI, tentara pelajar dan rakyat pejuang memasuki dan menduduki kota. Tanda khas perjuangan ketika memasuki kota ialah kalung dari janur kuning yang melingkar di leher para gerilyawan.

Setelah selama enam jam berada di kota dan kelompok gerilyawan menduduki tempat masing-masing yang telah ditentukan bagi mereka, komando untuk mengundurkan diri diberikan dan kembali secara serentak mereka taat meninggalkan kota menuju pangkalan masing-masing. Dengan demikian, sewaktu bala bantuan pasukan Belanda berupa barisan tank menderu-deru datang dari arah utara, para gerilyawan telah lenyap dan kota telah menjadi sunyi kembali.

Begitulah kisah sebuah serangan siluman di siang hari telah berlalu tanpa dapat dihalangi oleh tentara pendudukan Belanda. Sementara rakyat tampak menggelora kembali, sementara dunia internasional dapat melihat bukti nyata bahwa Republik baru itu sama sekali belum habis riwayatnya dan walaupun para pemimpin mereka diasingkan dan ditahan oleh Belanda tetapi keinginan untuk merdeka tak dapat dibendung lagi. Lagi pula, serangan yang berhasil ini membuktikan bahwa Belanda tak dapat memelihara keamanan di daerah yang mereka duduki.

Leiden berhadapan dengan Delft

Bala bantuan pasukan Belanda, terdiri dari barisan tank, memasuki kota Yogya pada siang hari 1 Maret 1949 dari utara menuju ke selatan ke jurusan Keraton. Barisan ini menuju ke bilangan Magangan, kemudian berusaha untuk memasuki Keraton. Tetapi gerbang tetap tertutup sesuai perintah Sultan Hamengku Buwono IX. Melalui suatu proses, barulah pintu gerbang dibuka dan masuklah pimpinan pasukan tank tadi.

Ternyata pimpinan pasukan tersebut adalah seorang insinyur lulusan Universiteit Delft dan anak buahnya adalah pemuda-pemuda Belanda yang masih di bawah umur. Dalam pertemuan antara dua orang itu segera Hamengku Buwono IX menang wibawa dan dapat menguasai percakapan, hanya karena suatu kebiasaan lama yang telah lama berakar di Negeri Belanda. Karena Universiteit Leiden adalah universitas yang tertua, maka alumni atau mahasiswa universitas lain seperti dari Delft tak mungkin dapat berbicara sembarangan. Tradisi yang mendarah daging pada insinyur itu itulah yang membuat dia berbicara penuh hormat kepada Hamengku Buwono IX.

Karena peristiwa inilah, ditambah lagi kenyataan bahwa daerah Keraton memang telah ditetapkan sebagai "daerah imun", maka niat memeriksa kompleks Keraton hanya dilakukan sekedarnya saja. Beruntung pula tiga kurir Panglima Besar Sudirman yang sedang duduk dalam pakaian abdi dalem di antara para abdi dalem yang asli. Dengan demikian mereka lolos dari pengamatan pasukan Belanda tersebut. Padahal kurir-kurir itu sengaja memasuki Keraton untuk mendapat laporan tentang jalannya Serangan Umum yang baru saja selesai. Memang, Keraton Yogya dengan beberapa bentuk bangunannya memberi banyak kemungkinan bagi seseorang untuk "membenamkan diri", sementara jumlah abdi dalem yang banyak merupakan lingkungan yang ideal untuk menyelusup. Tidak lama sesudah itu komandan dan pasukan tank Belanda meninggalkan Keraton.

Tak lama kemudian datang penguasa militer Belanda Kolonel van Langen bersama Residen Stok. Keduanya langsung melempar tuduhan bahwa selama serangan itu jelas ada tembakan yang datang dari Keraton. Tuduhan itu ditangkis oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan menunjukan situasi di kompleks Keraton yang tak memungkinkan apa yang dituduhkan itu. Kedatangan van Langen rupanya juga untuk memberitahukan maksud Jenderal Meyer, Panglima pasukan pendudukan Belanda, untuk berjumpa dengan Hamengku Buwono IX.

Dua hari kemudian datang seorang bernama Kapten De Jonge ke rumah Pangeran Prabuningrat. Rupanya perwira muda ini diperintahkan untuk mengawali kunjungan Jenderal Meyer.

Sejumlah pesawat udara menderu-deru di atas Keraton, berputar dan menukik, jeep-jeep militer lengkap dengan sepeda motor para pengawal meraung-raung menyertai kedatangan "tamu agung" Jenderal Meyer. Pada 3 Maret 1949 itu ia diterima dengan tenang oleh Sultan Hamengku Buwono IX dalam pakaian Jawa sederhana tanpa keris. Sultan hanya didampingi oleh seorang saudaranya, Pangeran Prabuningrat.

Para tamu yang delapan orang datang dengan lagak congkak, demikian pula pembicaraan dimulai dengan nada yang sama. Jenderal Meyer sebagai kepala rombongan menyatakan dengan keras bahwa tentara pendudukan kini cukup mempunyai bukti bahwa Sultan telah mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pimpinan-pimpinan "gerombolan teroris" dan memberikan instruksi kepada mereka. Keadaan ini tak dapat dibiarkan begitu saja, katanya tegas. Dilemparkan tuduhan juga bahwa Siti Hinggil telah sering menjadi sarang para penyerang dan kalau dikejar "gerombolan" akan mundur ke Keraton dan menembak dari atas tembok yang tinggi. Semua ini didengarkan oleh Sultan hanya dengan duduk bersedakep (dengan tangan disilangkan di dada) dan senyuman sekilas. Dialog yang menyusul kemudian kurang lebih seperti ini:

Meyer: Apakah Sri Sultan mau menghentikan sikap nonkoperatif terhadap Belanda?

Hamengku Buwono IX: Saya tak bersedia menjawab pertanyaan Tuan tadi.

Meyer: Mengapa Sri Sultan tak mau keluar dari Keraton dan bergerak dengan leluasa? Ini sangat mencurigakan kami.

Hamengku Buwono IX: Jenderal mengatakan saya boleh keluar Keraton, sedangkan selama ini Kolonel van Langen melarang saya bergerak leluasa. Mana yang benar? Ini berarti bahwa antara pimpinan tentara pendudukan Belanda tak ada kerja sama (samenwerking). Lagi pula kejadian di Kantor Kepatihan beberapa hari lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan.

Meyer: Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya.

Hamengku Buwono IX: Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat Tuan lakukan di Keraton saya, karena Tuan bersenjata dan saya tidak. Tetapi sebelum Tuan melakukan itu, Tuan harus membunuh saya dulu!

Dengan dialog yang berlangsung lebih-kurang seperti ini, Jenderal Meyer dan 7 orang rekannya merasa telah gagal untuk menundukkan Sultan Hamengku Buwono IX, untuk mengajaknya bekerjasama dengan Belanda. Sikapnya yang jelas anti-Belanda itu telah melenyapkan harapan Belanda untuk menjadikannya boneka yang dapat diperalat. Namun demikian, sikap tegas ini sebaliknya malah menimbulkan rasa respek yang besar dari para opsir tentara Belanda ini. Apabila sebelumnya Jenderal Meyer dan rekan-rekannya datang dengan sikap congkak, berbicara dengan nada angkuh, kini mereka bersikap sopan, dan minta diri dengan berjabat tangan secara hormat dan meninggalkan Keraton dengan tenang.

Sebagai pelengkapa catatan historis mengenai peristiwa-peristiwa di sekitar Serangan Umum, berikut ini dikutip selengkapnya isi surat Hamengku Buwono IX yang ditulis di Yogyakarta tanggal 26 Maret 1949 dan ditujukan kepada rekannya di Jakarta, Mr. Sudjono. Mr. Sudjono yang menyampaikan surat bersejarah itu kepada panitia penerbitan buku ini, mengatakan bahwa di Jakarta pada masa itu ia "merupakan satu-satunya saluran baginya (Sri Sultan) untuk mengutarakan pengalamannya yang heroik dan bersejarah itu. Sudjono waktu itu menjabat Sekretaris Jenderal delegasi Indonesia, yang diketuai oleh Mohamad Roem, dalam perundingan dengan Belanda untuk melaksanakan Persetujuan Renville. Sebagian besar isi surat itu tertulis dalam bahasa Belanda, dan hanya sebagian kecil dalam bahasa Indonesia. Berikut ini terjemahan surat tersebut:

MERDEKA!
Bersama ini saya mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kiriman rokok sigaret dan bahan naskah-naskah delegasi; semua itu telah saya terima. Telah berbulan-bulan lamanya saya hanya menghirup rokok keretek, jadi kedatangan Philip Morris sangat menggembirakan.

Agar orang Jakarta sedikit mengetahui dan untuk sekedar menghindari kemungkinan salah paham atau tuduhan-tuduhan terhadap saya, akan saya kisahkan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi pada hari 1 dan 2 Maret yang baru lalu. Akan saya ceritakan semua fakta, tanpa mengurangi atau menambah sedikit pun.

Sepakan sebelum 1 Maret saya sudah rasakan bahwa akan terjadi ledakan bom antara saya dan Belanda, sebab keadaan tegang makin lama kian membesar, justru karena belum seorang Belanda pun yang saya terima. Banyak provokasu yang mereka lakukan dan sebagai kejadian yang terbesar adalah penyerbuan terhadap Kepatihan, yang mereka rampok habis-habisan. Waktu hal itu terjadi, saya berpikir bahwa sasaran berikutnya adalah rumah saya. Dan saya benar juga.

Waktu itu saya berpikir, kalau toh hal itu harus terjadi, maka saya akan balas melakukan provokasi.Maka saya panggilah seorang peninjau UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia), Hazelett namanya (warga negara Amerika), yang sebelumnya telah menitipkan keinginan hendak berbicara dengan saya. Kedatangannya diterima dengan sengaja, terang-terangan dan menyolok sekali, sehingga dapat disaksikab oleh siapa pun.

Hari Selasa 1 Maret, jam 6 pagi terjadilah serangan dari anak-anak kita. Saya kira, kalau mereka (Belanda) cerdik, serangan ini mereka gunakan sebagai alasan. Dan benar, pada jam 9.15 di pintu gerbang benteng bagian selatan terjadi kegaduhan. Saudara saya membukakan pintunya, dan menyaksikan tiga tank, satu brencarrier serta beberapa truk kira-kira bermuatan 40 orang tentara. Mereka minta masuk, karena ditembaku dari dalam sana. Saya segera perbolehkan mereka masuk dan saya sendiri menghampiri mereka. Kepada Overste (Letnan Kolonel) Scheers saya tanyakan apa yang dituduhkannya. Dijawabnya bahwa mereka ditembaki dari balik tembok dan dari atas pohon pohon.Di mana tepatnya peristiwa itu? Ya, mengenai hal ini ia tak dapat menunjukkannya. Baik, kata saya, silahkan ikuti saya. Tiba di pintu gerbang utara, saya katakan pada mereka bahwa di sinilah batas terakhir tanggung jawab saya. Apa yang terjadi di luar itu, sesuai dengan ketentuan komandan setempat Van Langen, bukanlah menjadi tanggung jawab saya. (Ketentuan Van Langen ini semuanya tertulis, saya tidak pernah berjumpa dengan dia).

Nah, kami berjalan terus, tetapi ia belum dapat menunjukan tempatnya. Ketika setelah lama ia dengan ragu-ragu menunjukkan juga, daerah itu berada jauh di luar wilayah tanggung jawab saya. Ia tentunya tak tahu sedikitpun tentang perjanjian saya dengan Van Langen. Kemudian kami berjalan kembali dan kemudia ia meminta pada saya apakah boleh melanjutkan pemeriksaan. Silakan saja. Tetapi selama penelitian itu saya melihat bahwa serdadu-serdadunya berjalan seenaknya saja di belakang kami tanpa berusaha menemukan sesuatu. Sesudah itu, kira-kira jam 10 mereka keluar. Jadi memang benar adanya bahwa yang mereka lakukan adalah suatu penyelidikan (menurut harian Nieuwsgier: Tidak).

Kira-kira jam 11.45 datanglah: Van Langen, Stok (TBA), Vosveld (IVG), Berkhuis (AR), Schreers.

Van Langen marah-marah. Pokoknya mereka minta saya agar mau menerima Jenderal Meyer dan Angenent. Saya minta, sampai dua kali, agar Van Langen mau memeriksa tempat-tempat.

Jawabnya: Akh, soalnya bukan itu, tetapi tentang hal-hal yang lebih penting lagi.

Baiklah, saya akan menerima kunjungan Jenderal itu pada hari Senin seminggu yang akan datang.

Akh itu terlalu lama, mengapa tidak besok saja.

Saya jawab: Sayang, maafkan saya, saya tak bisa sebelum hari Minggu yang akan datang.

Baiklah, Minggu jam 12 waktu Batavia.

Baik, tetapi saya yakin benar bahwa Jenderal itu akan datang besok paginya. Van Langen juga mengatakan: saya akan menempatkan di depan sini penjaga untuk melindungi tuan. Saya angkat bahu, dan menjawab: Saya tidak membutuhkan perlindungan, tetapi kalau tuan mau menempatkan penjaga, itu adalah kekuasaan tuan, kerjakanlah apa yang tidak dapat tuan abaikan.

Malam itu dilakukan provokasi dan intimidasi terus menerus tembakan menembus gerbang, tembakan-tembakan menerabas pohon-pohon, sehingga peluru-pelurunya itu jatuh ke dalam rumah saya serta bermacam-macam kejanggalan lainnya.

Pada hari Rabu 2 Maret jam 8 pagi saya menerima surat yang agak kurang ajar dari Van Langen yang memberitahukan bahwa Jenderal akan datang pada jam 12. Surat itu tidak saya jawab. Kira-kira jam 8.30 rumah saya sudah dikepung. Di sebelah utara tiga tank, di sebelah selatan beberapa brencarrier dan banyak sekali tentara dan perwira. Kira-kira jam 11.30 datang lima pesawat pemburu. Mereka terbang berputar-putar di atas rumah saya atau terbang menukik di atas Keraton (imtimidasi). Jam 12 tepat Jenderal Meyer datang dengan Angenent (Recomba Jawa Tengah). Van Langen, Stok, MP (Polisi Militer) dan ajudan-ajudan Jenderal Meyer serta Van Langen. Mereka duduk, lantas jenderalnya berbicara, yang pokok ialah:
1. Sejak 19 Desember sampai sekarang banyak korban, baik dari pihak rakyat maupun tentara Belanda. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah "Sri Baginda".
2. Mereka mempunyai bukti jelas bahwa saya melakukan non-kooperasi, bukannya pasif tetapi aktif dan bahkan sangat aktif.

Pertanyaan mereka harus saya jawab dengan ya atau tidak. Apakah tuan pada masa yang akan datang bersedia meninggalkan sikap aktif non-kooperasi? Ya atau tidak (ini diulang dua kali).

Jawaban saya: Tentang tanggung jawab saya tolak mentah-mentah. Saya bukannya meminta tuan-tuan untuk datang ke Yogya. Tentang hal yang kedua, apakah tuan mengharapkan sikap yang lain dari saya? Tetapi bagaimanapun juga, apa yang terjadi kemarin bagi saya merupakan penghinaan, yang tidak dapat saya telan begitu saja. Itu sungguh perlakuan yang provokatif dan ini tidak dapat saya lupakan begitu saja (kata-kata ini saya ulangi sekali lagi dan ditujukan terhadap pernyataan Van Langen dan Stok).

Karenanya: SAYA MEMPUNYAI RENCANA MENGADAKAN PERSIAPAN UNTUK MENGUNDURKAN DIRI dan apabila terjadi sampai sejauh itu maka hal itu merupakan kesalahan dan tanggung-jawab tuan-tuan. Marilah kita persingkat perundingan ini, supaya tidak mempertajam keadaan ini, yang tidak perlu. Tetapi saya mengharapkan tuan hendaknya jangan mengganggu saya, dan seandainya tuan berangan-angan hendak melakukan sesuatu terhadap Keraton ini seperti yang dilakukan terhadap Kepatihan yang dirampok habis-habisan, silakan tuan tembak saya lebih dulu.

Jawabnya: Untuk tidak mengganggu tuan, maka semua kunjungan harus melalui Van Langen. Tentang permintaan tuan yang kedua, pasukan saya tidak akan ke sini.

Angenent bertanya: Bagaimana caranya tuan memberitahukan hal ini kepada pemerintahan tingkat tinggi?

Saya mengangkat bahu dan berkata: saya tidak tahu. Lantas saya bertanya: Jadi secara formal, saya ini seorang tahanan.

Jawabnya: O, tidak, tidak.

Dan saya tidak boleh menerima surat tamu kecuali melalui tuan Van Langen, lagi pula apa pekerjaan penjaga di depan pintu rumah saya?

Tidak, tetapi tuan dapat pergi berkeliling dengan bebas.

Jawab saya: Tuan Van Langen belum pernah menarik kembali suratnya, jadi saya tidak dapat pergi ke luar. Lalu ada perundingan antara Jenderal dengan Van Langen dan kemudian mereka mengundurkan diri.

Sore harinya Stok datang ke rumah Bintoro, katanya: Kami mendapat kesan bahwa Sri Sultan tidak mengungkapkan semuanya, barangkali ia malam nanti mau menerima Angenent dan mengadakan pembicaraan empat-mata dengan dia. Saya minta (Bintoro) menjawab: bahwa saya telah mengatakan semuanya, apa yang tersimpan dalam hati saya, saya tidak mempunyai hal-hal yang akan ditambahkan atau dikurangi. Lagi pula saya tidak biasa berbicara empat-mata dengan orang yang tidak saya kenal (ingin saya tambahkan kata-kata hal itu tidak diperkenankan oleh ibu saya, tapi kata-kata ini saya telan saja).

Sskianlah peristiwa 1 Maret. Sebelum itu mereka telah sering kali dan dengan berbagai cara melakukan provokasi, tetapi saya tetap bungkam.

Harap surat ini bisa dibaca oleh Leimena dan Natsir untuk menghindarkan salah paham tentang sikap saya. Lagi pula, harap tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada ipar anda, Nyonya Diah, atas kiriman majalah Merdeka. Sekian dulu, kita akan segera berjumpa.

Salam hangat, juga untuk istri Anda

(tanda tangan)
Hamengku Buwono IX

(Pertemuan Sultan dengan Scheers dan Van Langen, menurut surat ini, seakan-akan terjadi pada 1 Maret pagi, mungkin sebenarnya 2 Maret, karena pada 1 Maret masih berlangsung Serangan Umum gerilya. Dengan demikian pertemuan dengan Jenderal Meyer, jika terjadi sehari kemudian, baru berlangsung 3 Maret dan bukan 2 Maret. Ketika hal ini dicek kepada Sri Sultan, diperoleh penjelasan: Mungkin saja terjadi kekeliruan pencantuman tanggal "karena surat ini ditulis tidak dalam suasana tenang", Penyunting).

Ikhtisar Peristiwa

Agar mendapat gambaran yang lebih jelas tentang keadaan sekitar masa pendudukan Belanda di Yogya dan perjuangan Indonesia di forum dunia, ada baiknya kita mencoba mengingat urutan kejadian waktu itu. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, sebagian tokoh RI telah ditawan dan diasingkan ke Sumatra. Para pemimpin terbagi pada tiga tempat dan lingkungan.

Pertama, Mr. Sjarifuddin Prawiranegara dan rekan-tekannya memimpin Pemerintah Darurat RI dan berada di daerah pedalaman Sumatra. Kelompok ini menjalankan pemerintahan darurat baik sipil maupun militer, berhubungan dengan sisa-sisa aparat pemerintahan sipil RI di Sumatra dan Jawa dan juga dengan komandan-komandan militer dan barisan bersenjata rakyat melawan Belanda, serta juga memelihara hubungan dengan luar negeri melalui radio terutama dengan penghubung RI ke India.

Kelompok kedua adalah Presiden Sukarno, Haji Agus Salim serta Sutan Sjahrir yang mula-mula diasingkan ke Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat. Lebih kemudian lagi, pada 6 Pebruari 1949 Bung Karno dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Pulau Bangka agar mendapat kesempatan berunding dengan pemimpin-pemimpin RI yang ditawan di pulau ini. Sementara itu Sutan Sjahrir diundang oleh Perdana Menteri Drees ke Jakarta untuk berunding dan dibebaskan pada 18 Januari 1949.

Kelompok ke tiga ialah pemimpin-pemimpin yang langsung ditawan di Bangka, terdiri dari Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh Hatta, Moh Roem, Menteri P dan K Mr Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Komodor Udara Suryadarma dan Sekretaris Kabinet Mr A.G. Pringgodigdo.

Sementara itu Belanda meneruskan operasi militernya, sekaligus menjalankan blokade dan sensor ketat, dengan demikian ingin menghadapkan dunia kepada satu fait accompli. Tetapi dunia internasional ternyata tidak buta dan tidak tuli terhadap rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia.Ini berkat kerja keras dan kemahiran diplomasi wakil Indonesia L.N. Palar, yang gigih memaparkan keadaan sebenarnya di Indonesia kepada dunia luar.

Negara-negara yang bersimpati kepada Indonesia sementara itu berturut-turut melancarkan kegiatan diplomatik di PBB, sehingga menelurkan kesimpulan dan resolusi-resolusi yang menguntungkan RI.

Wakil tertinggi Ratu Belanda Dr Beel berusaha membujuk pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mau berunding hanya sebagai "tokoh masyarakat". Usul ini ditolak mentah-mentah oleh PM Hatta.Karena mereka adalah menteri-menteri RI, maka perundingan hanya dapat dilakukan antara dua pemerintahan.

Pada 7 Januari 1949 wakil Belanda di PBB Dr J.H. van Royen mengutarakan di depan Dewan Keamanan PBB bahwa keadaan di Indonesia telah normal kembali, dan para pemimpin RI yang ditawan di Pulau Bangka telah dapat leluasa bergerak di pulau seluas 11.300 km persegi itu. Hal ini ternyata tidak ditemukan oleh anggota Komisi Tiga Negara PBB Merle Cochran dan Thomas Critchley, yang meninjau ke Bangka pada 15 Januari 1949. Atas kesalahan ini Van Royen terpaksa meminta maaf dalam sidang DK PBB yang berikutnya.

Pada 20-23 Januari 1949 di New Delhi, diselenggarakan Konfrensi Inter-Asia oleh Perdana Menteri Jaeaharlal Nehru. Wakil Indonesia yang hadir pada pertemuan ini adalah Mr A.A. Maramis (yang diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dalam pengasingan oleh Ketua PDRI Mr Sjarifuddin Prawiranegara) dan Dr Sudarsono, wakil tetap RI di New Delhi. Konfrensi New Delhi ini kemudian mengeluarkan resolusi yang menguntungkan RI, berupa desakan-desakan nyata terhadap PBB untuk memulihkan RI kembali.

Ketika itu sikap India terhadap Indonesia sangat meyakinkan, sehingga semula pernah ada rencana Presiden Sukarno akan pergi ke New Delhi dan memimpin pemerintahan RI dalam pengasingan di India apabila sewaktu-waktu Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta. Rencana ini tak dapat dilaksanakan karena bocor, sebab Bung Karno sendiri menyebutkan dalam salah satu pidatonya sehingga Belanda berusaha keras untuk menghalang-halanginya.

Pada 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB berhasil memutuskan resolusi mengenai penyelesaian tentang masalah Imdonesia secara terperinci. Van Royen dengan gigih mempertahankan sikap pemerintahnya, tetapi lembaga dunia tersebut mempunyai pertimbangan sendiri dan lahirlah resolusi yang merupakan titik balik bagi Belanda. Walaupun Belanda dapat menduduki wilayah RI berdasarkan kekuatan senjata, tetapi simpati dunia tertuju kepada RI. Setelah ini menyusul tahap pelaksanaan resolusi 28 Januari 1949, yang sekali lagi ditawar oleh pihak Belanda.

Rencana Beel yang menyodorkan undangan untuk hadir langsung di Konferensi Meja Bundar ditolak dengan tegas oleh Sukarno dan Hatta. Sebaliknya para pemimpin RI menuntut agar kedudukan Republik Indonesia lebih dulu dipulihkan. Setelah terjadi serangan 1 Maret 1949, timbul lagi di Dewan Keamanan PBB usul resolusi pada 23 Maret, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan "Pedoman Kanada".

Pada 14 April 1949 dimulailah perundingan Indonesia-Belanda dengan prakarsa Komisi Tiga Negara PBB, yang telah memperoleh kekuasaan lebih besar daripada "Pedoman Kanada". Wakil Indonesia Mr Moh. Roem dalam pidatonya yang sangat tegas mengkritik keras agresi militer Belanda; resolusi 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertama harus berupa pemulihan RI ke Yogyakarta. Setelah itu barulah soal-soal lain dapat dibicarakan.

Demikianlah perundingan berlangsung, dan detik bersejarah datang menjelma pada 7 Mei 1949 ketika Mr Moh. Roem dan Van Royen tercapai persetujuan, dan tersusun apa yang kemudian selalu disebut sebagai Van Royen-Roem Statements.

Urutan peristiwa penting selanjutnya setelah ini ialah bahwa pada 24 Juni 1949 Van Royen menyetujui tentang penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta sejak tanggal tersebut. Penarikan mundur ini berjalan dengan cukup lancar tanpa insiden dan selesai pada 30 Juni 1949, jam 14.00 tepat. Sejak itu pula tanggung jawab pemerintahan dan keamanan di Yogyakarta dipegang kembali oleh Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada 5 Juli 1949 pejabat-pejabat KTN diundang ke Yogya untuk turut menyaksikan kembalinya Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta ke Ibukota Revolusi keesokan harinya, 6 Juli 1949. Ternyata kedatangan kedua pemimpin Republik selain disambut hangat oleh Sultan Hamengku Buwono IX, juga dielu-elukan dengan gegap gempita seluruh lapisan masyarakat.

Tiga hari kemudian Mr Sjafruddin Prawiranegara pun kembali ke Yogya, pada tanggal 13 Juli sidang Kabinet RI yang pertama setelah kembali ke Yogya dapat dilangsungkan. Dalam sidang ini Mr Sjafruddin menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI kepada Presiden RI. Kabinet juga memutuskan dalam sidang itu untuk mengangkat Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan sekaligus menjalankan pekerjaan sebagai Perdana Menteri. Tak lama sesudah itu, yaitu 24 Juli 1949, terbentuk susunan delegasi RI ke Konfrensi Meja Bundar di Den Haag yang diketuai oleh Perdana Menteri Moh. Hatta dan Wakil Ketua Mr Moh. Roem.

Satu periode perjuangan kemerdekaan RI dan pegawai sipil maupun angkatan bersenjata dapat berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing. Ribuan putra bangsa telah gugur, puluhan perundingan telah diadakan, namun jalan masih jauh. Keuletan dan ketabahan seluruh bangsa masih tetap akan diuji, pada waktu itu dan seterusnya.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar