Kamis, 12 Juni 2014

Bab 1 Pendahuluan, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 1
Pendahuluan

Walaupun peristiwa-peristiwa di sekitar perjuangan kemerdekaan RI telah begitu jauh di belakang kita, namun masih banyak orang yang belum lupa betapa besar peranan Sultan Hamengku Buwono IX di dalamnya. Demikian besar peranan itu, sehingga ada yang takut membayangkan bagaimana nasib Republik andai kata ketika itu ia tidak segera bahu-membahu dengan para pencetus proklamasi dan berdiri sepenuhnya di belakang sebuah Republik yang baru berumur beberapa hari. Juga apabila, ketika Jakarta mengalami terus tekanan dari Belanda, Yogya tidak langsung membuka pintu untuk menjadi ibukota Revolusi.

Banyak sekali orang yang menyaksikan ketika itu, betapa pihak Belanda sebenarnya telah "salah perhitungan" mengenai watak Sultan Yogya. Mereka masih berpikir, "raja kecil" mana yang tidak akan menurut dan berpihak pada mereka, asal diumpan dengan wilayah kerajaan, kekayaan dan kekuasaan yang besar? Selama berabad-abad menjajah, pola "memecah dan mengumpan" adalah senjata ampuh mereka yang hampir tak pernah gagal.

Siasat yang sama mau mereka laksanakan ketika Yogya diduduki oleh Belanda pada tahun 1948. Berkali-kali Belanda mengirim utusannya untuk membujuk Hamengku Buwono IX agar mau bekerja sama dan berpihak pada mereka dengan imbalan wilayah kekuasaan dan kekayaan. Lebih dari itu, mereka mau menjadikan dia sebagai Raja atas seluruh Jawa dan Madura.

Semua umpan itu ternyata sia-sia. Jangankan tergiur oleh janji-janji yang menarik, Raja muda usia itu - ketika itu ia berusia sekitar 36 tahun - sebaliknya malah menampilkan diri sebagai seorang Republiken tulen, seorang demokrat sejati yang dengan sukarela memasukkan daerah kerajaannya ke dalam Republik baru yang belum menentu hari depannya, serta ikut gigih memerangi Belanda pula.

Kini pada tahun 1982, Raja yang muda dan penuh semangat juang dulu, memasuki usia ke-70 tahun. Sejak dinobatkan pada tahun 1940, telah genap 42 tahun ia menduduki singgasananya. Lalu sebagai anggota pemerintah pusat RI ia aktif sejak tahun 1946 sampai 1978 hampir tanpa absen. Ya, selama 32 tahun hampir terus menerus ia menjabat sebagai Menteri Negara, Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), Menteri Koordinator dan Wakil Presiden, sehingga sepanjang sejarah RI ialah orang yang paling sering duduk dalam Kabinet.

Satu samudra kehidupan yang amat luas telah diarunginya, asam-garam telah cukup disantapnya, berbagai tahap perkembangan negara telah pula dilaluinya. Namun apabila ditanya, tanpa ragu sedikit pun Hamengku Buwono IX akan menjawab : "Yang paling berkesan dan paling puas mengalaminya ialah jaman revolusi! Suasana begitu enak dan murni ..." Dan betahlah pria yang termasuk pendiam ini berkisah, bernostalgia dengan masa lalu, berjam-jam lamanya, dari pagi sampai larut malam sekalipun ...

Sesungguhnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX - "Sampeyan Dalem" atau "Ngarsa Dalem" bagi para warga Ngayogyakarta Hadiningrat, "Bung Sultan" di jaman revolusi fisik dan kemudian "Pak Sultan" di daerah lain di Indonesia, terutama di ibukota - adalah pribadi yang unik. Jika kita amati dari dekat, kita akan terkesan bahwa ia benar-benar hidup dalam dua dunia tanpa mengalami kesulitan. Atau, katakanlah, ia dapat mempersatukan dua dunia dalam dirinya dengan cukup berhasil.

Di dunia yang, ia adalah Raja dalam arti kata yang sebenarnya. Dia adalah pewaris tahta, pemegang gelar dalam deretan silsilah gemilang raja-raja Mataram. Di Keratonnya yang penuh tradisi dia adalah kepala dari segenap kerabat berdarah biru yang disembah kawulanya. Dengan wajah angker dalam pakaian kebesaran Sultan ia bersinewaka di atas singgasananya, atau duduk dalam Kereta Kencana kirab berkeliling kota. Dialah Baginda Raja yang penuh wibawa.

Di dunia yang kedua ia tampak sebagaimana pria-pria modern lainnya. Pagi hari telah menuju ke kantornya dalam pakaian model safari warna abu-abu atau coklat, atau bercelana gelap berkemeja batik lengan panjang pada acara setengah resmi. Penampilannya di dunianya yang kedua ini memberi kesan lebih santai, tingkah lakunya tampak sederhana dan adalah kesenangannya untuk membaur di tengah orang biasa dan leluasa pergi ke mana-mana dengan membawa mobil sendiri.

Mula-mula ia tersenyum saja ketika ditanya, apakah orang yang hidup dalam dua dunia dengan begitu mudah berarti memiliki pribadi kembar. Namun sejenak kemudian ia kembali serius sambil berucap : "Saya rasa, soalnya tidak sesulit yang Anda bayangkan. Sebenarnya saya berlaku wajar saja dengan sikap yang ditentukan oleh waktu dan tempat, tak ubahnya seperti orang lain. Lagi pula yang saya alami ini dialami juga oleh seluruh keluarga saya. Kami adalah anggota masyarakat Indonesia yang kebetulan menjadi keturunan raja Mataram. Dan kami tak merasakan kesulitan apa pun".

Memasuki usia yang ke-70, Pak Sultan tampak biasa-biasa saja. Kesehatan umumnya masih baik, perawakannya yang sedang masih kelihatan tegap, langkahnya masih pasti dan kulit wajahnya tak seberapa berkerut. Yang penting juga: semangatnya masih jauh dari redup sehingga kesan keseluruhan yang akan didapat orang bila melihatnya ialah bahwa ia cukup awet muda.

Benar, sejak tahun 1978 ia telah mengundurkan diri dari jabatan resmi terakhir sebagai Wakil Presiden RI karena ingin hidup tenang. Benar, bahwa untuk kesehatan matanya secara periodik ia harus mengalami pemeriksaan oleh para dokternya di luar negeri. Namun untuk selebihnya ia masih cukup kuat untuk melakukan berbagai kegiatan.

"Bagian terbesar waktu saya kini ingin saya curahkan untuk membina orang muda di bidang olahraga. Banyak cabang olahraga kita telah menunjukkan prestasi yang baik, tetapi masih banyak lagi yang perlu peningkatan agar Indonesia dapat lebih banyak ikut bicara di gelanggang internasional", demikian kata-kata penuh gairah dari Sultan Hamengku Buwono IX yang rupanya kini berbicara sebagai Ketua Umum KONI Pusat. Agaknya kecintaan terhadap olahraga sejak kecil dapat berlanjut terus sampai masa senja hidup seseorang.

Kini sudah waktunya kalangan luas mengetahui lebih banyak tentang dirinya, mengenai pribadinya, perjuangannya, karirnya. Mereka yang dekat dengan Sri Sultan sudah memahami bahwa Hamengku Buwono IX kurang menyukai publisitas. Ia bahkan boleh dibilang "alergis" terhadap segala bentuk wawancara, sejauh itu mengenai dirinya. Beberapa penulis yang ingin mengadakan wawancara untuk penulisan biografi-nya selalu mendapat jawaban: "Ah, buat apa, nanti sajalah ..."

Janji "nanti sajalah" itu mungkin baru sekarang ini untuk pertama kali terlaksana. Pertanyan-pertanyaan para anggota panitia penerbitan buku ini sekitar kehidupan masa kecilnya, masa mudanya, masa perjuangan, pembinaan karirnya - baik sebagai anggota pemerintah pusat maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa - disambut dengan pengungkapan-pengungkapan yang terbuka. Semua itu diharapkan dapat diteruskan kepada kalangan luas agar mendapat gambaran, bagaimana seorang yang menurut kelahirannya mestinya bersikap feodal tetapi sebaliknya, dalam kenyataan, tampil sebagaimana sekarang ini: pribadi yang demokratis, lugu dan jujur. Seakan-akan menunjukkan perpaduan antara kebesaran Timur dan kemajuan Barat, sesuai dengan niat yang diucapkannya ketika ia dinobatkan sebagai Raja pada tahun 1940.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar