Rabu, 11 Juni 2014

Buku "Tahta Untuk Rakyat"

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalas jabang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Pengantar

Tahun yang lampau, saya berkunjung ke Ujungpandang, dan menyempatkan diri untuk mengunjungi kuburan almarhum Pangeran Diponegoro, istrinya dan sejumlah pengikutnya. Kuburan di tengah kota ini tidak terlalu diabaikan, akan tetapi memerlukan perawatan yang lebih baik. Sebagai pemimpin perlawanan rakyat menghadapi kekuasaan penjajah Belanda, Pangeran Diponegoro patut dikenang dengan kuburannya yang lebih baik. Tidak megah dan mewah, karena kesederhanaan merupakan kekuatan dan citra yang lebih mengesankan.

Tidak sempat pergi karena waktu yang mendesak, saya kemudian mendengar cerita dari istri saya yang pergi ke luar kota Ujungpandang mengunjungi kuburan Sultan Hasanuddin, tokoh perlawanan terhadap Belanda di Sulawesi Selatan. Waktu kami berkunjung ke Banda Aceh, juga di tahun yang sama, kami masih sempat pula mengunjungi kuburan Raja Aceh yang menjadi raja pada umur belum dewasa, ketika Belanda pertama kali menyerbu Aceh. Di Kepulauan Banda para "orang kaya" Banda memimpin perlawanan terhadap VOC dan sebagian besar dari mereka tewas dalam pertempuran atau kepala mereka dipenggal oleh algojo Belanda.

Di seluruh tanah air kita, tokoh-tokoh perlawanan terhadap kaum penjajah banyak yang terdiri dari raja dan kaum bangsawan. Hal ini tentulah sesuatu yang wajar. Karena kekuatan asing yang datang menyerbu juga mengancam secara langsung kekuasaan sang raja sendiri. Dengan berkembangnya kekuasaan penjajahan di Indonesia, kita melihat betapa kekuasaan kolonial menjalankan kekuasaannya melalui penguasa-penguasa pribumi.
Berdasarkan apa yang dinamakan Belanda lange verklaring dan korte verklaring, maka raja-raja atau kaum bangsawan pribumi mengakui kedaulatan kekuasaan penjajah Belanda, dan sebagai imbangannya mereka dikukuhkan dalam kedudukan mereka sebagai raja atau sultan, atau sebagai penguasa pada kedudukan khusus.

Pertentangan di dalam keluarga Kerajaan Mataram setelah Sunan (Susuhunan) Amangkurat II meninggal tahun 1703 memberikan peluang bagi VOC. Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II, untuk merebut tahta menghadapi Sunan Mas, putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III. Sunan Mas dikalahkan dan dibuang oleh Belanda ke Sri Langka. Tetapi Pangeran Puger, yang dinobatkan menjadi Sunan Paku Buwono I, harus membayar harga yang mahal untuk bantuan VOC kepadanya. Dia kehilangan wilayah Cirebon, Priangan dan belahan timur Madura yang berada di bawah kekuasaan Mataram di kala itu.

Setelah Paku Buwono I meninggal, 1719, pecah lagi perebutan tahta di antara anggota keluarganya yang menentang penggantinya, Sunan Prabu atau Amangkurat IV. Kesempatan ini pun digunakan oleh VOC untuk menanamkan kekuasaannya di Mataram. Belanda mengirim pasukan militer ke Kartasura dan menumpas para penentang Sunan. Setelah Sunan Amangkurat IV meninggal, 1727, VOC juga mendukung putranya yang berumur 16 tahun yang naik tahta sebagai Paku Buwono II.

Akan tetapi perlawanan terhadap kekuasaan Belanda belum padam. Pada tahun 1740 pecah keributan antara orang Tionghoa dengan Belanda yang menjalar dari Batavia ke Jawa Tengah. Di Batavia lebih dari 10.000 orang Tionghoa mati terbunuh oleh Belanda. Banyak yang berhasil melarikan diri ke Jawa Tengah.

Patriot-patriot Mataram merasa tiba waktunya untuk mengusir kekuasaan Belanda. Mereka bekerja sama dengan pasukan Tionghoa yang melawan Belanda. Di Kartasura, Paku Buwono II berhasil merebut benteng Belanda dekat Keraton. Tetapi VOC dengan bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura Barat dapat mematahkan kepungan pasukan Jawa dan Tionghoa, dan Kartasura diduduki kembali oleh Belanda. Paku Buwono II menjadi bimbang, kemudian meninggalkan orang-orang Tionghoa dan kembali memihak VOC.

Tetapi para pendukung Raden Mas Gerendi, cucu Sunan Mas, memproklamirkannya sebagai Susuhunan yang sah, dan bersama pasukan Tionghoa menggempur Keraton. Namun ia dijatuhkan oleh pasukan Belanda dari tahtanya dan Paku Buwono II dipulihkan pada kedudukannya. Paku Buwono II harus membayar mahal pula untuk pertolongan VOC ini. Kekuasaan Belanda terpaksa diterimanya di seluruh Mataram, dan kepada VOC diberikan hak membuat mata uang sendiri di Pulau Jawa. Dan dengan biaya yang didukung oleh Paku Buwono II, Belanda boleh membangun garnisun-garnisun militer yang diperlukannya di Mataram.

Paku Buwono II meninggalkan Kartasura yang rusak berat akibat berbagai pertempuran, dan pindah ke Surakarta tahun 1744.

Sesudah itu masih terjadi lagi pemberontakan dipimpin oleh Raden Mas Said, yang kemudian dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II. Daerah yang mereka kuasai semakin luas ketika Paku Buwono II meninggal tahun 1749 dan digantikan oleh putra mahkota yang menjadi Paku Buwono III.

Tetapi karena timbul perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi, perlawanan mereka memjadi lemah. Kesempatan ini digunakan oleh VOC untuk mengadakan perdamaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti, 1755, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I mendapat wilayah sebelah barat dan di sana didirikan ibukota Yogyakarta. Paku Buwono III mendapat wilayah bagian timur dengan ibukota Surakarta. Sedangkan Raden Mas Said, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I, berdasarkan Perjanjian Salatiga (1757) memperoleh daerah yang disebut Mangkunegaran.

Demikianlah pandainya Belanda menjalankan peranannya sebagai pemecah dan pengadu-domba, hingga akhirnya Kerajaan Mataram yang pernah merupakan sebuah kerajaan yang berarti di Nusantara akhirnya dipecah-pecah seperti yang kita lihat di jaman penjajahan Belanda.

Hamengku Buwono IX naik tahta menggantikan ayahnya ketika gerakan kebangsaan Indonesia sedang berkembang dengan kuatnya. Sumpah Pemuda telah diikrarkan, berbagai organisasi dan partai politik kebangsaan telah terjun ke kancah perjuangan untuk merebut kemerdekaan bangsa kembali dari tangan penjajah.

Keluarga para raja dan bangsawan yang telah terikat dengan berbagai perjanjian mengakui kedaulatan dan kekuasaan Belanda meneruskan hidup mereka, kini terpisah dari rakyat banyak. Hamengku Buwono IX dilahirkan dan menjadi dewasa dalam dunia Keraton. Dia tidak terlibat, dan tidak mungkin dapat melibatkan dirinya ke dalam gerakan kebangsaan yang menentang Belanda.

Karena itu, ketika kemudian kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, Hamengku Buwono IX tanpa ragu-ragu menjatuhkan pilihannya pada Republik Indonesia. Keputusannya ini adalah sebuah langkah yang sangat besar artinya, tidak saja bagi dirinya sendiri, tidak saja bagi rakyat Yogyakarta, akan tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.

Proses apapun yang telah dilaluinya untuk sampai pada keputusan ini (pada akhirnya setiap orang mempunyai cara-caranya sendiri untuk sampai pada suatu keputusan yang amat penting bagi dirinya), dalam tahap-tahap perjuangan bangsa Indonesia berikutnya Hamengku Buwono IX telah menunjukkan sikap yang amat konsisten dengan pilihannya tersebut.

Belanda telah tidak berhasil sama sekali membujuknya dengan berbagai tawaran yang muluk-muluk. Dan Sultan Hamengku Buwono IX di setiap saat kritis perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan kembalinya kekuasaan penjajah Belanda dan kemudian setelah kemerdekaan dapat direbut kembali, senantiasa hadir dan melakukan kewajibannya dengan tenang, penuh keyakinan dan keberanian. Dia bukan tokoh pemimpin yang gembar-gembor, tetapi kehadirannya membawa keyakinan perjuangan yang mantap.

Sejak tahun-tahun perjuangan dan peperangan kemerdekaan di tahun-tahun 45-an hingga dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di tahun 1978, Hamengku Buwono IX tidak pernah absen memikul tugas, kewajiban dan tanggung jawab negara dalam berbagai jabatan menteri, wakil perdana menteri, menteri koordinator, hingga wakil presiden. Ini adalah satu prestasi yang luar biasa sebenarnya. Mungkin dia satu-satunya raja Jawa yang mendapat tempat di hati rakyat di luar Jawa Tengah.

Selama tahun-tahun peperangan kemerdekaan saya belum dekat demgan dia. Sebagai wartawan kantor berita Antara saya ditugaskan dengan Almarhum Asa Bafaqih untuk memimpin kantor berita Antara di Jakarta, setelah kantor pusat Antara pindah ke Yogyakarta. Saya sering mondar-mandir melakukan tugas ke Yogyakarta, tetapi tak pernah lama di sana. Tetapi dari kawan-kawan yang berada dalam pemerintahan, saya banyak mendengar tentang diri "Bung Sultan", panggilan populernya di masa revolusi kemerdekaan kita dahulu.

Ketika di Istana Merdeka dilakukan upacara timbang-terima antara wakil Belanda Lovink dengan Hamengku Buwono IX sebagai wakil Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, barulah saya bertemu dengan dia. Tetapi dalam upacara resmi itu tidak banyak yang dapat saya tanyakan padanya. Baru kemudian setelah dia menjabat Menteri Pertahanan, saya lebih kenal dia dari dekat.

Kesan pertama adalah kesederhanaan sikapnya, tingkah lakunya yang amat demokratis, dan terasa amat wajar. Saya tidak pernah mengalami sesuatu sikap yang formal-formalan dari Hamengku Buwono IX. Ketika hubungan kami telah lebih akrab, saya mendapat kesan bahwa dalam kesederhanaan dan ketenangan sikapnya dia menyembunyikan pikirannya yang amat terbuka pada dunia sekelilingnya. Dia amat banyak tahu tentang apa yang terjadi di negeri ini, baik di kalangan pemerintah dan orang-orang pemerintah, maupun di kalangan partai-partai dan di kalangan rakyat banyak. Sering saya mengalami bahwa Hamengku Buwono IX ini lebih dulu mendengar sesuatu perkembangan politik dari wartawan sendiri.

Sebuah lagi yang berkesan pada saya, ialah betapapun dia tidak menyetujui sesuatu atau kelakuan seseorang, maka "Bung Sultan" tidak pernah saya dengar mempergunakan kata-kata yang keras dalam mengomentarinya. Paling banyak dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Para penyumbang karangan buku ini telah menyoroti pribadi dan perjuangan Hamengku Buwono IX dari berbagai sudut. Cerita dan kesan-kesan mereka menampilkan seorang patriot yang besar, dengan pribadi yang teguh, yang penuh keyakinan pada dirinya, yang berani bertanggung jawab, yang memiliki solidaritas perjuangan yang kukuh dengan bangsanya, yang tidak suka gembar-gembor, tetapi lebih suka melakukan kewajiban, tugas dan tanggung jawabnnya dengan diam-diam dan dengan cara yang mantap.

Sebagai patriot dan pejuang, keyakinan dan keberanian patriotiknya dapat dijadikan teladan. Sebagai salah seorang penguasa yang telah bertugas demikian lama sejak tahun 1945, dia telah memberi teladan amat mulia. Dia memegang berbagai kedudukan berkuasa yang tinggi-tinggi, karena dia diminta dan dia menerima dan melakukan tugas-tugas kenegaraan ini semata-mata didorong oleh kesadaran kewajibannya terhadap bangsa dan tanah airnya.

Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini dapat dipergunakan oleh generasi-generasi yang lebih muda sebagai bahan bandingan. Panitia penerbitan buku ini akan merasa amat berbahagia seandainya isi buku ini dapat pula memberikan inspirasi bagi anggota generasi muda bangsa kita (dan siapa tahu, moga-moga juga pada anggota generasi '45 sendiri) untuk menegakkan citra manusia Indonesia seperti yang telah ditegakkan Hamengku Buwono IX, seorang satria-pandita, mengabdi tanpa pamrih untuk kepentingan bangsanya.

Kepada Allah Yang Maha Kuasa marilah kita memanjatkan doa semoga Tuhan senantiasa menurunkan rakhmatNya pada Hamengku Buwono IX dan seluruh keluarganya, agar dipanjangkan umurnya, hingga dapat melihat Indonesia yang makmur merata pada seluruh rakyat, dan keadilan duduk di atas tahta, dan hak-hak manusia berakar dengan kukuh dan mantap.

Kepada seluruh bangsa Indonesia, buku memperingati 70 tahun umur Hamengku Buwono IX, "Bung Sultan" ini kami persembahkan.

Mochtar Lubis

Langsung saja, klik "Daftar Isi" Tahta Untuk Rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar