Senin, 16 Juni 2014

Bab I Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat

Buku "Pintu Masuk ke Dunia Filsafat" ini aku pilih di toko buku, kalau tidak salah di daerah Salemba, Jakarta, pada tanggal 6 Maret 1995, dibelikan oleh sepupuku, Niken Hapsari. Ditulis oleh Harry Hamersma, diterbitkan oleh PT. Kanisius.
Berikut ini aku ketikkan kembali untuk kalian semua. Semoga bermanfaat. Terima Kasih. Merdeka!

Delfaji Amardika

Bab I
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

"Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun oleh ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat." (BERTRAND RUSSEL)

Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan, tentang dia sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Sikap ini sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti diungkapkan dalam sajak yang kuno ini:

"Aku datang -- entah dari mana,
aku ini -- entah siapa,
aku pergi -- entah ke mana,
aku akan mati -- entah kapan,
aku heran bahwa aku bergembira" ...

Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang hakekat manusia, tak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah tempat di mana pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut "fakultas sentral" atau "inter-fakultas", karena semua fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan, menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Misalnya pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakekat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakekat materi, tentang dasar moral.

Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi jelas kalau kita membandingkan definisi ilmu pengetahuan dan definisi filsafat.

Ilmu pengetahuan adalah:
"pengetahuan metodis, sistematis dan koheran ("bertalian")

Filsafat adalah:
"pengetahuan metodis, sistematis dan koheran tentang seluruh kenyataan"

Filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam penyelidikan ini. Hasil dari ilmu-ilmu khusus besar luar biasa. Dibandingkan dengan itu, hasil dari filsafat kelihatannya kurang konkret dan kurang berguna. Namun demikian filsafat masih tetap dibutuhkan sebagai suatu "forum", suatu "tempat" di mana dibicarakan soal-soal yang datang sebelum dan sesudah semua ilmu lain.

Arti kata "filsafat"
Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani dan berarti "cinta dan hikmat" atau "cinta akan pengetahuan". Seorang "filsuf" adalah seorang "pecinta", "pencari" ("philos") hikmat atau pengetahuan ("sophia"). Kata "philosophos" diciptakan untuk menekankan sesuatu. Pemikir-pemikir Yunani Pythagoras (582-496 SM) dan Plato (482-348 SM) mengejek para "sofis" ("sophistes") yang berpendapat bahwa mereka tahu jawaban untuk semua pertanyaan. Kata Pythagoras: hanya Tuhan mempunyai hikmat yang sungguh-sungguh. Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini, yaitu "mencari hikmat", "mencintai pengetahuan".

Asal filsafat
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk "ber-filsafat": keheranan, kesangsian dan kesadaran keterbatasan.

Keheranan: Banyak filsuf menunjukan rasa heran (dalam bahasa Yunani: "thaumasia") sebagai asal filsafat. Plato misalnya mengatakan: "Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat. "Dan pada kuburan Immanuel Kant (1724-1804) tertulis: "Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me". Kedua gejala yang paling mengherankan menurut Kant, adalah "langit berbintang-bintang di atasnya" dan "hukum moral dalam hatinya".

Kesangsian: Filsuf-filsuf lain, seperti misalnya Augustinus (354-430) dan Descrates (1596-1650) menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancainderanya kalau ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat yang ingin kita lihat? Di mana dapat ditemukan kepastian? Karena dunia ini penuh dengan macam-macam pendapat, keyakinan dan interpretasi. Sikap ini, sikap skeptis (dari kata Yunani "skeptis", "penyelidikan"), sangat berguna untuk menemukan suatu titik pangkal yang tidak teragukan lagi. Titik pangkal ini dapat berfungsi sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut.

Kesadaran akan keterbatasan: Filsuf-filsuf lain lagi mengatakan bahwa manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa kecil dan lemah dia, dibandingkan dengan alam semesta sekelilingnya. (Sikap ini diungkapkan dengan bagus dalam Mazmur 8.) Semakin manusia terpukau oleh ketakterhinggaan sekelilingnya, semakin ia heran akan eksistensinya. Dan kalau dunia saya dan hidup saya kelihatan tidak berarti dalam keadaan-keadaan tertentu -- misalnya kalau saya harus menghadapi kematian seseorang yang tercintai, kalau saya bersalah, kalau saya menderita atau sama sekali gagal -- saya merasa terdorong untuk menarik kesimpulan bahwa harus ada sesuatu yang mengatasi semua keterbatasan dan kegagalan. Semakin jelas saya sendiri atau sesuatu di luar saya kelihatan terbatas, semakin jelas juga bahwa harus ada sesuatu yang tak terbatas, ketakterhinggaan yang "membatasi" segala sesuatu yang lain.

Tiga jenis abstraksi

Keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan mendorong manusia untuk berpikir. Akan tetapi pemikiran ini segera menjadi "metodis". Manusia berkecenderungan untuk menggunakan suatu jalan tertentu untuk berpikir, yaitu dari hal-hal yang lebih konkret ke prinsip-prinsip induk yang abstrak. Jalan ini diterangkan oleh Aristoteles (384-322 SM). Menurut Aristoteles pemikiran kita melewati tiga jenis "abstraksi" (kata lain "abstrahere" berarti "menjauhkan diri", "mengambil dari"). Setiap jenis abstraksi menghasilkan salah satu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan "fisis", pengetahuan "matematis" dan pengetahuan "teologis". Semua jenis pengetahuan ini menurut Aristoteles masih termasuk filsafat, karena belum dibedakan teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan. Ketiga jenis abstraksi sebagaimana dibedakan oleh Aristoteles, masih tetap berguna untuk menerangkan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.

Tahap pertama: fisika
Kita berpikir kalau kita mengamati sesuatu. Keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan baru dapat timbul kalau sesuatu diamati lebih dahulu. Akal kita "melepaskan" ("mengabstahir") dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu "materi yang dapat dirasakan" (Aristoteles menamai itu "hyle aistete"). Akal budi menghasilkan, bersama materi yang "abstrak" ini, pengetahuan yang disebut "fisika" (dari kata Yunani "physos", "alam").

Tahap kedua: matesis
Kita masih dapat melepaskan, "mengabstrahir" lebih banyak lagi. Kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti ("hyle noete"). Berkat abstraksi ini kita dapat menghitung dan mengukur, karena menghitung dan mengukur itu mungkin lepas dari semua gejala dan semua perubahan, dengan mata tertutup. Pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi ini disebut "matesis" ("matematika"). (Kata Yunani "mathesis" berarti "pengetahuan", "ilmu").

Tahap ketiga: teologi atau "filsafat pertama"
Akhirnya kita juga dapat mengabstahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun materi yang dapat diketahui. Kalau kita berpikir tentang keseluruhan kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang jiwa manusia, tentang kenyataan yang paling luhur, tentang Tuhan, lalu tidak hanya bidang fisika, melainkan juga bidang matesis yang ditinggalkan. Semua jenis pengamatan tidak berguna lagi di sini. Jenis berpikir ini disebut "teologi" atau "filsafat pertama" oleh Aristoteles.

Pengetahuan dari jenis ketiga ini dalam tradisi setelah Aristoteles disebut "metafisika", bidang yang datang setelah ("meta") fisika. Bagi Aristoteles baik bidang metafisika, bidang matematika maupun fisika masih merupakan kesatuan, yang seluruhnya disebut "filsafat". Yang dewasa ini masih disebut "filsafat", itu lebih-lebih "filsafat pertama" atau "metafisika".

Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. Sebelumnya karena semua ilmu khusus telah mulai sebagai bagian dari filsafat yang kemudian menjadi dewasa, seperti masih kelihatan pada Aristoteles. Sesudahnya, karena semua ilmu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mengatasi batas-batas spesialisasi mereka. Oleh sebab itu banyak ilmiawan sekaligus filsuf-filsuf kenamaan, seperti Aristoteles, Descrates, Leibniz, Pascal, Kant, Whitehead dan Einstein.

*** kembali ke Daftar Isi "Pintu Masuk ke Dunia Filsafat" ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar