Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!
Bab 4
Pulang ke Tanah Air
Dengan memburuknya situasi dunia, suasana genting makin terasa di mana-mana, terutama di seluruh Eropa. Dan ketika bulan September 1939, Hitler mengadakan penyerbuan ke Polandia, pecahlah Perang Dunia II. Dalam perkembangan situasi seperti ini, masih ada anggapan bahwa Negeri Belanda akan dapat bertahan bersikap netral, tetapi semua orang pun melihat betapa cepat Jerman bertindak.
Melihat keadaan dunia itu, Sultan Hamengku Buwono VIII hanya dapat merasa cemas. Segera dikirimkannya telegram agar putra-putranya semua yang sedang menuntut studi di Holland pulang saja selekas mungkin, selagi keadaan masih mengizinkan.
Api peperangan telah berkobar diana-mana, bahaya pun mengintai setiap saat berupa ledakan bom, granat ataupun ranjau. Tak terkecuali keadaan di samudra, sehingga pelayaran jauh dianggap mengandung resiko yang amat besar. Meskipun demikian, ada satu kapal barang yang masih akan berangkat dari Negeri Belanda ke Nederlands Indie waktu itu. Walaupun sebenarnya kapal "Dempo" adalah sebuah kapal pengangkut barang, tetapi banyak penumpang yang mendaftarkan untuk ikut pelayaran bulan September itu. Pejabat Belanda yang menguruskan tiket kapal "Dempo" untuk putra-putra Hamengku Buwono VIII menemukan tinggal satu tempat kosong. Diputuskan bahwa di antara kelima putra Sultan, Dorodjatun akan berangkat lebih dulu.
Berangkatlah kapal "Dempo" dengan tujuan Nederlands Indie. Rute yang biasa melewati Laut Tengah dan Terusan Suez terpaksa dibatalkan karena daerah itu benar-benar telah merupakan kancah peperangan. "Dempo" terpaksa mengikuti rute jauh, melalui pantai barat Afrika dan Tanjung Harapan di ujung selatan benua tersebut.
Pelayaran yang memakan waktu berminggu-minggu, bagi Dorodjatun memberikan kesempatan yang banyak untuk berpikir. Ia teringat bagaimana reaksi pertama ketika menerima telegram panggilan dari ayahanda. Terselip rasa kecewa sejenak, karena ia merasa sebagai mahasiswa tingkat doktoral sebaiknya menyelesaikan studi sampai tuntas, lalu pulang membawa gelar yang diinginkan. Tetapi dalam surat-surat dari rumah ia merasakan kecemasan keluarganya. Ia maklum, situasi memang gawat. Lagi pula ia mendengar, kesehatan ayahanda akhir-akhir ini mundur keadaannya. Ah, semoga saja studi yang tinggal sebentar itu dapat diselesaikan pada waktu lain dan naskah skripsi yang boleh dikatakan telah siap dan kini berada di kopernya itu dapat diajukan kepada sidang guru besar di Universitas Leiden, kelak, demikian pikirnya.
Di pihak lain ia merasakan suatu kegembiraan yang sangat besar. Bukankah tak lama lagi akan bertemu dan berada kembali di tengah keluarganya? Terutama ia ingin bertatap muka dengan ayahanda yang telah 9 tahun tak dijumpai dan yang kini makin lanjut usianya. Kini ia baru merasa bahwa sebenarnya ia tak pernah mengenal ayahnya betul. Hubungan antara mereka selalu hanya formal dan satu jurang pemisah terasa menganga antara ayah dan anak. Keadaan seperti ini berlanjut terus selama ia berada di negeri orang karena ia juga bukan orang yang rajin menulis surat.
"Keadaan ini harus berubah, saya ingin menyelami pikiran dan cita-cita ayah yang sebenarnya. Saya harus dekat dengan beliau", demikian tercetus niatnya waktu itu; yang ingin dilaksanakannya segera setelah sampai di tanah air.
Sejak usia 4 tahun Dorodjatun, yang ketika itu berusia 27 tahun, tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal ayahnya dan keluarga lain secara bai. Walau sejak kecil ia juga terpisah dari ibu kandungnya, namun terasa ada hubungan yang lebih baik dengan ibunya daripada dengan ayahnya. Selama 23 tahun penuh ia lebih mengenal cara kehidupan Barat, cara berpikir dan bertindak sederhana telah mendarah daging pada dirinya dan bahasa Belanda pun mengalir lebih lancar dari mulutnya. Bukannya ia lupa pada bahasa Jawa, tetapi selama bertahun-tahun praktek menggunakannya memang sangat kurang. Bagaimanapun ia gembira juga bahwa di antara mata kuliah ia masih harus menekuni juga bahasa Jawa, walau sifatnya adalah "teoretis Javaans" dan yang mengajarjannya adalah ... orang Belanda!
Selama berminggu-minggu menempuh pelayaran antara Holland dan Nederlands Indie, Dorodjatun benar-benar mempunyai kesempatan banyak untuk merenungkan keadaan dirinya, ayah-bundanya, keluarganya yang lain dan hal-hal yang ada hubungannya dengan masa depannya. Dan niatnya semakin mantap untuk menciptakan hubungan yang lebih dekat dengan ayahanda, sesuatu yang dianggap sebagai kunci penting dalam melangkah ke masa yang akan dihadapinya.
Tetapi manusia boleh mempunyai rencana, Tuhan jugalah yang menentukan. Bagi Dorodjatun demikian jugalah keadaanya. Sedikit pun ia tak menyangka bahwa kejadian akan berubah begitu drastis, begitu ia menginjakkan kaki di bumi betawi. Jangankan mengenal ayahanda lebih akrab, bahkan, kesempatan melepaskan rindu setelah perpisahan selama 9 tahun pun hampir tak dialaminya. Dan seakan-akan sebelum ia menyadari betul apa yang terjadi, dalam waktu beberapa hari saja Dorodjatun yang masih berbau bangku kuliah itu telah menemukan dirinya menjadi putra mahkota Keraton Yogyakarta, berarti dalam waktu dekat ia akan menjadi Sultan Hamengku Buwono IX.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar