Kamis, 12 Juni 2014

Bab 3 Masa Sekolah, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 3
Masa Sekolah

Perkenalan dengan bangku sekolah bagi Henkie dimulai dengan dimasukinya sekolah Frobel (sekarang disebut taman kanak-kanak) milik Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Dari rumah Mulder di Gondokusuman ke sekolah di Bintaran Kidul, Henkie biasanya diantar dan dijemput oleh kereta berkuda dari Keraton.

Pada waktu berumur 6 tahun Henkie dimasukkan ke sekolah dasar yang namanya Eerste Europese Lagere School B di Kampementstraat (jalan di kota Yogya ini kemudian dinamakan Secodiningratan dan dewasa ini dikenal dengan nama Jalan Panembahan Senopati). Sekolah ini dalam percakapan sehari-hari dikenal dengan nama Eerste School B atau Een B, atau dalam bahasa Jawanya Sekolah Kidul Ngloji dianggap sebagai sekolah nomor wahid ketika itu dan karena ada syarat-syarat tertentu tak sembarang orang pribumi dapat memasukkan anaknya di sana. Konon kabarnya di sekolah ini perlakuan antara anak asing, terutama Belanda, dan anak pribumi sangat diskriminatif; kelemahan atau kekurangan anak pribumi biasanya dibesar-besarkan, sementara anak Belanda yang sangat bodoh pun mudah diterima. Keadaan seperti ini memang sangat lumrah di alam penjajahan.

Pendidikan dasar Dorodjatun diselesaikannya di dua sekolah. Setelah beberapa tahun duduk di Een B ia pindah ke Neutrale Europese Lagere School di Pakemweg (Jalan Pakem yang kemudian dinamakan Jalan Kaliurang). Di sekolah ini ia menamatkan Sekolah Dasarnya, setelah melalui suka-duka sebagaimana anak-anak lain.

Sementara itu dari keluarga Mulder ia pindah kost ke rumah keluarga Cock. Ketika ia duduk di kelas 3, masuklah Henkie dalam klub kepanduan NIPV (Ned. Indische Padvinders Club) dan dari kesempatan berkemah lahirlah kemudian hobinya: memasak!

Ayahanda yang semula masih putra mahkota, telah dinobatkan menjadi Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921, juga ketika Henkie duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Namun demikian hal ini tidak mengubah apa-apa baginya. Walau tak jauh dari pondokannya sebuah bangunan Keraton yang megah adalah rumahnya dan ayahnya sebagai Raja dapat memberikan apa pun kepadanya, pada kenyataannya tak demikian halnya bagi Henkie. Ia bersekolah, bermain, menempuh ujian, bersepeda ke mana-mana sebagai siswa Sekolah Dasar secara biasa sebagaimana murid-murid yang lain.

Pengalaman pada masa Sekolah Dasar diceritakannya dalam rekaman percakapan berikut:

Penulis: Ketika duduk di Sekolah Dasar ini, pernahkah Bapak distrap (dihukum) oleh guru) Dan sebabnya apa?

Hamengku Buwono IX: O, sering sekali! Sebabnya karena saya suka antem-anteman. (Mengingat ini, Hamengku Buwono IX tampak tertawa geli)

Penulis: Berapa uang saku waktu itu? Misalnya untuk jajan?

Hamengku Buwono IX: Seingat saya tak pernah saya diberi uang saku. Jajan di sekolah waktu itu dilarang, anak-anak biasanya bawa sangu roti dari rumah.

Penulis: Kenangan lain dari masa Sekolah Dasar?

Hamengkubuwono IX: Pada waktu itu saya pernah sekelas dengan Hamid, kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamid II. Ketika kecil sebutannya ialah Mozes. Ia tinggal di Yogya, hanya ditemani seorang gouvernante (pengasuh-pendidik) berkebangsaan Inggris bernama Nyonya Fox.

Penulis: Bagaimana dia waktu itu, nakal atau bagaimana?

Hamengku Buwono IX: Saya hanya ingat ia sedikit feminin. Kebiasaan antem-anteman antara anak lelaki tak begitu disukainya. Suatu kali ia "diadu" dengan seorang murid perempuan yang jago berkelahi, dan ia ... kalah!

Memang di antara kedua orang siswa Europese Lagere School Yogya di tahun dua puluhan itu ada persamaan, yaitu bahwa keduanya putra Sultan. Tetapi untuk selanjutnya pertumbuhan dan jalan hidup mereka mengambil arah yang berlainan, dan pada suatu waktu menduduki posisi yang amat berlawanan. Di satu pihak Henkie, yang kemudian menjadi Hamengku Buwono IX menjadi pejuang kemerdekaan RI. Di lain pihak Mozes, yang kemudian menjadi Sultan Hamid II, diangkat menjadi ajudan Ratu Wihelmina yang tentu saja selalu berpihak kepada Belanda. Siapa menyangka bahwa kedua anak siswa Sekolah Dasar ini 25 tahun kemudian akan berhadapan dan akan menjadi tugas Henkie untuk menangkap Mozes? Tentang hal ini akan ditulis tersendiri.

Suka Sepakbola

Ketika duduk di Sekolah Dasar ini selain kesenangan naik sepeda, ikut kepanduan dan berkemah, tampaknya kegemaran akan sepakbola mulai menonjol pada Henkie. Terutama pada kesempatan libur sekolah pada waktu ia pulang ke Keraton, kegemaran ini diwujudkan dengan mengumpulkan sanak keluarga dan anak para abdi dalem yang umurnya sebaya. Mereka ini dipersatukannya dalam satu perkumpulan tanpa nama. Latihan-latihan "anak-anak gawang" ini dilakukan dengan cukup serius dengan cara meniru perkumpulan orang besar yang berlatih teratur. Mereka misalnya tekun berlatih dalam menyundul bola dengan kepala, menendang bola ke arah tertentu atau menjaga gawang dan membuat lingkaran dengan sang pelatih di tengah. Perkumpulan bola ini mempunyai seragam kesebelasan dan kadang-kadang ikut pertandingan melawan kesebelasan lain di luar Istana.

Kesenangan akan cabang olahraga ini bagi Dorodjatun berlanjut kemudian sampai ia duduk di sekolah menengah dan terus sampai ia menjadi mahasiswa di Negeri Belanda. Dengan benih kecintaannya akan sepakbola ini, mungkin tidaklah kebetulan bahwa untuk seterusnya ia senang dan banyak perhatian pada olahraga pada umumnya dan sampai sekarang pun masih memegang peranan penting dalam dunia olahraga di Indonesia.

Tamat dari Neutrale Europese Lagere School bulan Juli 1925, Henkie melanjutkan sekolah ke sebuah HBS di Semarang. Di kota ini ia dipondokkan pada keluarga Voskuil, dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai kepala penjara Mlaten.

Sebagaimana di Yogya sebelumnya, di sini pun Henkie diperlakukan sebagai anak biasa, hidup dalam kesederhanaan dan taat pada disiplin, dua sifat yang kemudian mendarah daging pada pribadinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, kini dalam usia memasuki gerbang keremajaan Henkie tinggal jauh dari rumahnya sendiri. Ia tidak lagi sekota dengan Keraton, tak lagi sewaktu-waktu dapat berkunjung kepada ibunya dan kerabatnya yang lain. Sebenarnya Semarang tak begitu jauh dari Yogya, kalau mau tentu dapat saja ia pulang setiap akhir minggu, tetapi kenyataannya ia tak berbuat demikian. Ia pulang ke Yogya hanya pada waktu liburan agak panjang, paling tidak jika ada liburan selama beberapa hari.

Tak lama Henkie tinggal di kota pesisir utara pulau Jawa ini. Hawanya terasa terlalu panas, menyebabkan badannya kurang sehat. Dan sebelum satu tahun berlalu, ayahnya telah memutuskan untuk mengirimnya ke Bandung saja. Diharapkan iklim yang lebih sejuk akan membuatnya betah dan dapat belajar lebih baik.

Keluarga Belanda yang dipilih untuknya kali ini adalah keluarga De Boer, di mana kembali diterapkan pola pendidikan lama atas instruksi Hamengku Buwono VIII: kesederhanaan, kedisiplinan. Dengan tingkah laku yang sederhana, sikap tak pernah sombong dan wajah yang biasa-biasa saja serta jauh pula dari lingkungan Keraton, tidak banyak yang mengetahui bahwa pemuda bernama Henkie ini adalah putra Raja dan bahwa di lingkungan Keratonnya orang harus dudul bersila di lantai dan menyembah bila bicara dengannya. Boleh jadi Henkie sendiri waktu itu cukup senang di kota sejuk yang dijuluki "Paris of Java" ini. Teman-temannya di HBS pun terasa cocok. Tetapi segera ternyata bahwa ayahanda telah membuat rencana baru untuknya. Kali ini perintah ayahanda adalah agar ia melanjutkan pelajaran di Negeri Belanda.

Pada bulan Maret 1930 berangkatlah Henkie bersama seorang kakaknya bernama BRM Tinggarto dan disertai oleh keluarga Hofland (seorang administrateur dari pabrik gula Gesikan di Yogyakarta) menuju Holland. Di sana ia masuk ke sekolah Gymnasium di Haarlem, sementara untuk tempat tinggal dipilih untuknya rumah keluarga Ir W.C.G.H. Mourik Broekman, direktur sekolah tersebut. Ia menyelesaikan Gymnasium ini pada tahun 1934.

Sebegitu jauh tampak kini bahwa untuk tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas Henkie memerlukan waktu lebih-kurang 9 tahun. Mungkin ini disebabkan oleh seringnya ia harus pindah sekolah dan waktu masuk sekolah di Haarlem ia terpaksa diturunkan dua kelas karena perbedaan mutu pelajaran.

Tiba saatnya kini bagi Henkie untuk memasuki dunia kemahasiswaan. Ia memilih Rijksuniversiteit di kota Leiden, suatu universitas yang dianggap tertua dan terkemuka dan jurusan yang diambilnya adalah Indologi. Orang-orang yang akan terjun ke bidang perintahan di Nederlands Indie ketika itu biasanya mengambil fakultas Indologi yang merupakan gabungan dari bidang hukum dan ekonomi.

Menjadi mahasiswa di Negeri Belanda tampaknya benar-benar membuka cakrawala baru yang makin luas bagi Henkie yang kini telah tumbuh menjadi pemuda berusia 23-24 tahun. Di samping studinya, dengan sepenuhnya ia memgikuti kegiatan-kegiatan lain kemahasiswaan. Ia menjadi anggota "Leidse Studentencorps" yang tidak sembarangan prosesnya, karena untuk itu ia lebih dulu harus menjalani ontgroening atau perpeloncoan. Henkie juga masuk perkumpulan mahasiswa "Verenigde Faculteiten", di mana ia pernah menjabat sebagai ketua organisasi. Dalam perkumpulan mahasiswa yang lain lagi, "Minerva" ia juga pernah menjabat sebagai komisaris dalam lingkungan pengurusnya.

Henkie yang telah besar perhatiannya terhadap perkembangan politik dan ekonomi negara-negara pada umumnya, ketika itu juga rajin menghadiri klub diakusi dalam lingkungan universitas yang dipimpin oleh guru besar yang sangat diseganinya yaitu Prof Schrieke. Semua ini membuat kehidupannya sebagai mahasiswa di negara Barat yang lebih maju sebagai satu rentetan pengalaman yang sungguh berharga dan kelak akan selalu dikenang dengan rasa nostalgia yang tersendiri.

Sebagai mahasiswa di Holland, pernah suatu kali Henkie bertemu kembali dengan teman se-Sekolah Dasar-nya, Hamid alias Mozes. Ketika itu Hamid menuntut pelajaran pada Koninklijke Militaire Academie (KMA), dan keduanya bertemu ketika masing-masing mewakili ayahnya melayat pada upacara pemakaman Pangeran Hendrik, suami Ratu Belanda. "Sst, jangan panggil Mozes lagi, namaku sekarang ganti Max," demikian seru pemuda ganteng itu kepada Henkie.

Di tahun-tahun selama menjadi mahasiswa di Holland itu Henkie ternyata tidak absen menggumuli kecintaannya sejak kecil yaitu sepakbola. Pada waktu itu permainannya telah meningkat dan di sekelilingnya dianggap menonjol sehingga dalam kesebelasan mahasiswa ia cukup populer sebagai salah seorang penjaga gawang yang baik.

Tahun-tahun kesibukan studi dan penuh kegiatan kemahasiswaaan silih-berganti, dan Henkie berhasil lulus dengan baik dalam candidaats-examen tahun 1937. Ia meraih ijazah candidaat Indologi sehingga ia boleh melanjutkan pada tingkat doktoral. Pada tahap berikutnya Henkie mengambil vak ekonomi sebagai mata kuliah pilihan di samping beberapa vak penting lainnya.

Tentang masa menjadi mahasiswa di Holland, digambarkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX dalam dialog berikut:

Penulis: Mata kuliah apa yang paling Bapak senangi?

Hamengku Buwono IX: Saya paling senang staatsrecht (hukum tata negara).

Penulis: Guru besar yang mana yang paling berkesan?

Hamengku Buwono IX: Yang sampai lama saya masih ingat ialah Prof Schrieke, mungkin karena dia pula yang memimpin debatting club para mahasiswa waktu itu.

Penulis: Buku apa yang Bapak baca waktu itu? Majalah atau surat kabar apakah yang sering Bapak baca di Holland?

Hamengku Buwono IX: Kalau buku yang harus banyak dibaca yang ada hubungannya dengan staatsrecht, judulnya saya tak ingat lagi. Kalau majalah atau koran, yang saya ingat hanya De Leidse Courant.

Penulis: Bagaimana dengan bahasa Jawa, dengan siapa Bapak berbahasa Jawa? Apa tidak menjadi lupa?

Hamengku Buwono IX: Kalau bicara dalam bahasa Jawa, waktu itu hampir tak pernah. Tetapi saya sih nggak lupa, bagaimana bisa? Untungnya masih ada juga mata kuliah bahasa Jawa, walau yah, hanya teoretis Javaans. Yang mengajar pun orang Belanda.

Penulis: Di negeri orang sebagai putra Sultan, apakah Bapak diberi penasehat khusus orang Belanda? ataukah langkah-langkah Bapak selalu diawasi oleh Belanda?

Hamengku Buwono IX: Diberi penasehat khusus atau diawasi, rasanya tak saya alami, atau tidak secara nyata. Bahwa sedikit diawasi, mungkin. Terbukti dari pengalaman saya ketika hadir satu kali di rapat NSB, suatu gerakan sosialis di Belanda. Kontan paginya saya dipanggil ke Kementerian Urusan Jajahan (Ministerie van Kolonien), padahal sebenarnya saya hadir hanya karena ingin tahu saja.

Penulis: Pada masa itu, apakah Bapak pernah bertemu mahasiswa Indonesia lainnya, misalnya yang kemudian ternyata muncul sebagai pemimpin nasional Republik Indonesia? Apakah pernah ada waktu untuk berbincang-bincang tentang nasionalisme dalam hubungan dengan wilayah Hindia Belanda?

Hamengku Buwono IX: Terus terang tak pernah. Hanya kadang-kadang saya ketemu Prijono yang kemudian jadi profesor, Maria Ulfah, Suripno atau Maruto, karena saya memang sengaja lebih banyak masuk di kalangan Belanda.

Penulis: Andai kata keadaan tak berubah, bahwa Indonesia tidak merdeka dan Nederlands Indie tetap dijajah, apakah Bapak menganggap sistem pendidikan Barat ini tepat? apakah hal itu akan dipraktekkan juga terhadap putra-putra Bapak?

Hamengku Buwono IX: Saya kira demikian. Saya merasa dapat menyelami karakter orang Belanda melalui pendidikan dan pergaulan dengan Belanda. Ini akan sangat membantu bagi siapa pun yang dalam pekerjaannya akan selalu berhubungan dengan orang Belanda.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar