Kamis, 12 Juni 2014

Bab 5 Menerima Kyahi Jaka Piturun, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 5
Menerima Kyahi Jaka Piturun

Menurut kisahnya, dalam kurun waktu itu Sri Sultan Hamengku Buwono VIII seolah-olah mendapat firasat bahwa ajalnya telah mendekat. Sejak beberapa tahun terakhir itu penyakit diabetes yang parah telah menyebabkan Raja yang berusia 59 tahun itu menjadi sakit-sakitan. Karena itu dirasakannya paling baik apabila ia menyuruh pulang putra-putranya yang sedang menuntut pelajaran di Holland. Terutama ia menginginkan Dorodjatun, putranya dari garwa padmi, untuk berada di sampingnya. Lalu ia sendiri, dalam keadaannya yang tidak sehat, memaksa diri pergi ke Betawi untuk menjemputnya.

Pada 18 Oktober 1939 mendaratlah kapal "Dempo" di dermaga Tanjung Priok setelah menempuh perjalanan penuh ancaman selama berminggu-minggu. Di antara para penumpang tampak Dorodjatun yang seperti tak sabar menunggu jemputan.

Di sinilah untuk pertama kali ia merasakan bahwa sesuatu telah berubah. Ketika Dorodjatun alias Henkie, yang masih membawa kebiasaan mahasiswa, ingin secara spontan memberi "kejutan" kepada para penjemputnya, segera terhenyak. Ia melihat, betapa adik-adiknya, saudara-saudaranya sendiri bersikap penuh hormat, menyembahnya, bahkan menjawab tegurannya spontan dengan bahasa Jawa krama inggil, bahasa yang digunakan untuk percakapan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya. "Semua ini adalah atas dawuh dalem," demikian mereka menjelaskan.

Kemudian mereka langsung menuju ke Hotel des Indes (sekarang pusat pertokoan "Duta Merlin"), di mana Baginda Raja beserta pengiring menginap. Bertemulah ayah dan putra dalam suasana haru yang mendalam.

Tetapi acara kangenan tak dapat berlangsung lama. Sebagai mana lazimnya, berbagai acara resmi harus dipenuhi oleh seorang raja yang sedang berada di Betawi, pusat pemerintahan penjajah. Apalagi dengan sang putra baru kembali dari Holland, banyak cara mengundang dan diundang harus dipenuhi. Tercatat di antaranya kunjungan kehormatan ke Gubernur Jenderal Belanda di istananya.

Mungkin rentetan pertemuan silatirahmi seperti ini yang membuat penyakit Hamengku Buwono VIII menjadi kambuh. Dalam pertemuan-pertemuan resmi itu berbagai minuman seperti champagne dan banyak jenis anggur disajikan dengan leluasa di samping macam-macam makanan kecil selalu pula merupakan hidangan yang dibanggakan. Bagi seorang penderita penyakit gula yang parah seperti Hamengku Buwono VIII, jamuan dengan kesempatan makan-minum sebagaimana dilukiskan di atas ternyata membawa akibat yang kurang baik.

Kata-kata Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tentang kejadian selama beberapa hari di Hotel des Indes terjalin dalam rekaman percakapan berikut:

Penulis: Berapa hari Bapak waktu itu bersama ayahanda berada di Hotel des Indes?

Hamengku Buwono IX: Kira-kira tiga hari.

Penulis: Beberapa tulisan tentang periode itu yang selama ini dapat dibaca mengatakan ada pesan-pesan berharga tentang kerajaan Yogya yang diberikan oleh Hamengku Buwono VIII kepada Bapak, betulkah?

Hamengku Buwono IX: itu tidak benar, karena kami tak ada waktu untuk percakapan serius atau mendalam. Terlalu banyak acara yang harus dipenuhi, sehingga percakapan yang ada hanya mengenai keluarga saja. Mungkin maksud ayah baru nanti akan memberi pesan-pesan, tapi yah ...

Penulis: Kalau begitu, adakah kejadian penting selama tiga hari itu jika tak ada percakapan yang berarti?

Hamengku Buwono IX: ada, yaitu penyerahan Keris Pusaka Keraton. Di kamar ayah di Hotel des Indes itulah saya menerima keris "Kyahi Jaka Piturun" dari tangan Hamengku Buwono VIII. Keris pusaka ini, yang sampai sekarang tersimpan baik-baik di Keraton, adalah yang selalu diserahkan oleh raja kepada seseorang yang diinginkannya menjadi putra mahkota. Dengan penyerahan keris tersebut pada saya waktu itu, menjadi jelaslah maksud ayah bagi saya dan saudara-saudara saya.

***

Tiga hari setelah kedatangan Dorodjatun di tanah air, Hamengku Buwono VIII dan putra-putra serta segenap pengiring pulang menuju Yogyakarta dengan kereta api eendaagse (k.a. satu hari) yang berangkat dari stasiun Gambir. Konon kabarnya segala macam sambutan sebagai putra mahkota telah dipersiapkan di Yogya dalam suasana penuh harapan. Tetapi manusia boleh saja membuat rencana, namun Yang Mahakuasa jualah yang menentukan segalanya.

Tak lama setelah kereta api meninggalkan Betawi, ternyata Hamengku Buwono VIII jatuh sakit. Raja yang memang telah lama mengidap diabetes itu jatuh pingsan sebelum kereta mencapai kota Cirebon. Di kota Krawang segera diadakan hubungan telepon ke Yogyakarta untuk memanggil dokter Royen, dokter pribadi Sultan. Baru di kota Kroya dokter ini berhasil masuk di kereta api untuk melakukan pengobatan darurat sebelum sampai di tempat tujuan.

Setiba di Yogyakarta, sang Raja yang telah payah keadaannya langsung diangkut ke Rumah Sakit "Onder de Bogen" di Yap Boulevard (sekarang dikenal orang dengan nama Rumah Sakit Panti Rapih, terletak di Jalan Cik Di Tiro).

Kisah dari mulut ke mulut yang menyelubungi peristiwa ini ialah bahwa ketika sang Raja diturunkan dari kereta api, meledaklah petir di atas kota Yogya, padahal hari sedang terang dan udara cerah. Warga Jawa Tengah, teristimewa di Solo dan Yogya, mempunyai kebiasaan memberi arti pada timbulnya suatu gejala alam. Menyambarnya petir di siang hari yang cerah ketika itu diartikan sebagai isyarat bakal wafatnya seorang pembesar. Bersamaan dengan ini, pengertian lain ialah sebagai tanda akan datangnya seorang putra mahkota yang diberkati dengan sifat-sifat kepribadian yang luhur. Apakah benar ada petir menyambar dan apakah gejala alam biasa itu memang merupakan pertanda terhadap sesuatu yang bakal terjadi, sulit untuk diselidiki kebenarannya.

Sementara itu tampaknya para dokter tak lagi dapat berbuat banyak. Sultan Hamengku Buwono VIII tak pernah sadar kembali dari koma dan keesokan harinya pukul 04.00 wafat dengan tenang, yaitu pada hari Minggu Kliwon 22 Oktober 1939. Kebetulan hari Minggu Kliwon juga adalah hari wafatnya pendiri Kesultanan Yogyakarta yaitu Sultan Hamengku Buwono I pada 24 Maret 1792.

Mengenai jangka waktu segera setelah wafatnya Hamengku Buwono VIII ini, karangan bekas Walikota Yogya KPH Sudarisman Purwokusumo yang disunting oleh sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo mengisahkan secara jelas seperti di bawah ini.

Pada waktu itu juga Gubernur Dr Lucien Adam mengambil alih kekuasaan Keraton Yogyakarta sambil menunggu diangkatnya pengganti Sultan. Keesokan harinya Gubernur Adam mengangkat sebuah panitia yang ditugaskan untuk mengurus pemerintahan Keraton selama belum diangkat Sultan yang baru. Panitia ini terdiri dari 5 orang dan diketuai oleh Dorodjatun yang berusia muda dan menurut urutan kebangsawanan belum menjadi pangeran. Lima orang tersebut adalah: GRM Dorodjatun sebagai ketua, dan sebagai anggota GPH Mangkukusumo (putra Hamengku Buwono VII atau kakak Hamengku Buwono VIII dari lain ibu); GPH Tedjokusumo, adik dari GPH Mangkukusumo; Pangeran Hangabehi dan Puruboyo, keduanya putra Hamengku Buwono VIII.

Sekalipun Dorodjatun belum resmi menjadi Pangeran, dan sekalipun GPH Mangkukusumo lebih tua daripada Dorodjatun, bahkan lebih tua dari almarhum Sultan Hamengku Buwono VIII serta dilahirkan pula oleh permaisuri Hamengku Buwono VII yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kencono, namun yang diangkat sebagai ketua panitia adalah Dorodjatun. Hal ini jelas menuruti keinginan Hamengku Buwono VIII yang telah menyerahkan "Kyahi Jaka Piturun" kepada Dorodjatun ketika berada di kamar hotel des Indes di Betawi beberapa hari sebelumnya.

Sesuai dengan pengalaman sepanjang sejarah Mataram, apabila pada mulanya Kompeni Belanda (VOC) hanya membuat perjanjian dagang, lambat-laun dan terutama sejak tahun 1733 menyusuplah pasal-pasal yang bercorak politik. Keterlibatan Mataram dalam berbagai pertikaian dalam negeri telah membuat Sunan Paku Buwono semakin tergantung kepada kekuasaan VOC. Kemudian pemberontakan Pecinan pada tahun 1740 telah memberi kemungkinan yang lebih luas kepada VOC untuk meminta hak-hak politik. Perang saudara yang timbul setelah itu kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta dan daerah swapraja Mangkunegaran, masing-masing pada tahun 1755 dan 1757. Sebelumnya, telah didahului oleh perjanjian yang buruk akibatnya bagi Mataram, yaitu perjanjian tahun 1749, ketika Paku Buwono II dalam keadaan sakit menyerahkan "nasib" kerajaan Mataram kepada VOC.

Sejak itu setiap kali akan ada pergantian sunan atau sultan, selalu akan didahului oleh sebuah kontrak politik. Dan setiap kali dibuat kontrak politik yang baru, sudah barang tentu pemerintah jajahan Belanda mencari kesempatan untuk memperbesar dan memperluas kekuasaannya di daerah kesunanan atau kesultanan. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? tidak lain karena kelemahan kerajaan Mataram sendiri dan mungkin juga karena penyusunan kontrak politik itu dilakukan oleh seorang sunan atau sultan yang tidak menguasai bahasa dan alam pikiran penjajah. Kontrak-kontrak politik di masa lalu terjadi antara dua pihak yang tidak seimbang kekuatan dan kekuasaannya. Yang jelas kontrak politik makin lama makin merugikan pihak kesunanan dan kesultanan. Demikian antara lain karangan Mr Sudarisman Purwokusumo (Kompas, 24 April 1980).

Untunglah keadaan telah banyak berubah pada tahun 1939 itu. Dorodjatun, calon Sultan Hamengkubuwono IX yang sebentar lagi harus berhadapan dengan gubernur Belanda dalam merundingkan kontrak politik baru, telah mengenyam pendidikan Barat yang cukup tinggi. Ia bahkan telah duduk di tingkat doktoral dari jurusan Indologi di Universitas Leiden. Kesulitan bahasa pun tak dialaminya, karena bahasa Belanda baginya telah merupakan alat percakapan sehari-hari.

Sekalipun demikian Dorodjatun sadar bahwa ia harus sangat berhati-hati dan ulet menghadapi Dr Lucien Adam. Bukankah Gubernur berusia 60-an itu adalah pejabat mahir yang telah demikian banyak makan asam-garam dalam soal-soal pemerintahan penjajahan? Lagi pula ia adalah seorang Javanicus atau ahli adat-istiadat Jawa yang disegani. Sedangkan Dorodjatun sendiri? Benar, studinya tinggal menyelesaikan tingkat akhir, tetapi justru ia merasa masih terlalu hijau, masih segar dari kampus dengan pengalaman ... nol!

"Saya benar-benar belum apa-apa waktu itu. Tapi yah, apa boleh buat! Keadaan telah menempatkan saya pada situasi demikian, harus dihadapi saja", demikian Hamengku Buwono IX mengenang kembali masa tersebut.

Langkah pertama yang ditempuhnya adalah mengumpulkan semua Kerabat Keraton, terutama para putra Hamengku Buwono VII dan VIII. Secara langsung ia menanyakan kepada mereka siapa di antara mereka yang mempunyai keinginan untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Apabila semua gagasan diajukan secara terus terang dan dibicarakan bersama, kerabat Keraton akan mempunyai sikap yang kompak, demikian pikirnya waktu itu. Ternyata dalam pertemuan itu segera didapat kata sepakat dan penegasan bahwa di antara mereka tidak ada yang ingin menjadi Hamengku Buwono IX. Ini merupakan pernyataan yang spontan dari para paman, kakak dan adik-adik Dorodjatun, semua kompak mendukungnya.

Agar didapat gambaran suasana yang lebih jelas, perlu diungkapkan bahwa seorang raja di Jawa yang biasanya beristri banyak, baik permaisuri maupun istri selir, biasanya mempunyai putra-putri dalam jumlah sampai puluhan orang. Di antara para putra-putri ini sering terdapat rasa persaingan yang tajam untuk menggantikan sang ayah sebagai raja. Keadaan seperti ini di masa lalu sering dimanfaatkan oleh penjajah dengan jalan mengadu-domba antara putra yang satu dengan yang lain demi kepentingan kekuasaannya.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar